Jokowi Pasca Lengser: 'Resah Yang Menjelma Kegelisahan'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di Indonesia, masa purnatugas presiden biasanya menjadi masa redup. Megawati Soekarnoputri mengunci diri dalam keheningan partai.
Susilo Bambang Yudhoyono, dengan gaya elegan, membangun Cikeas sebagai semacam think tank dan rumah konsolidasi politik.
Bahkan B.J. Habibie yang sebentar menjabat, menghabiskan masa senjanya dengan laboratorium riset, yayasan pendidikan, dan cita-cita ilmu pengetahuan.
Namun, Joko Widodo tampaknya menolak pola itu. Setelah lengser dari Istana, ia justru makin sering terlihat di layar kaca, media sosial, dan ruang-ruang politik informal.
Ia hadir di mana-mana: meninjau ke daerah-daerah membuka pertemuan bisnis, berkeliling sawah, bahkan muncul dalam manuver-manuver kekuasaan yang seolah tak pernah benar-benar ditinggalkannya.
Jokowi seperti mengalami fase hyperactivity post-power syndrome—suatu kegelisahan laten pasca-kekuasaan yang mencari-cari pelampiasan.
Apa Yang dikejar?
Tak seperti Megawati yang punya PDI Perjuangan sebagai “mainan abadi”, atau SBY yang menenangkan diri dalam Partai Demokrat dan karya-karya seni lukisnya, Jokowi terlihat tak punya kanal pelepasan yang berjangkar ideologis maupun kultural.
Ia tidak membangun yayasan pendidikan ala Habibie, tidak menyuarakan gagasan lingkungan, tidak membentuk pusat kebudayaan, bahkan tak terdengar ingin mendirikan perpustakaan pribadi sebagaimana dilakukan oleh pemimpin-pemimpin besar dunia pascarezim.
Sebaliknya, ia justru terlihat seperti sedang menyelamatkan sesuatu. Atau seseorang.
Yakni dirinya sendiri, keluarganya, dinasti kecil yang lahir dari ambisinya mempertahankan kekuasaan melampaui mandat konstitusional.
Dalam ingatan publik, Jokowi bukan sekadar lengser, tapi melengserkan dirinya sendiri dari reputasi.
Karena alih-alih membiarkan sejarah mencatatnya sebagai pemimpin yang berhasil menstabilkan demokrasi, ia memilih menjadi dalang atas lahirnya preseden politik dinasti yang kasar dan manipulatif.
Kini, setelah tak lagi menggenggam jabatan, ia seperti sedang patroli.
Seolah kekuasaan telah memberinya candu, dan setelah kepergiannya dari tampuk kekuasaan, rasa cemas itu menumpuk. Cemas bahwa apa yang dibangunnya akan rontok.
Cemas bahwa publik mulai menghisab kebohongan-kebohongan yang dulu ditutupi gegap gempita pembangunan.
Dan cemas bahwa langkah-langkah putranya—sebagai wakil presiden hasil rekayasa hukum—akan menuai badai yang tak bisa ia redam.
Dalam psikologi kekuasaan, ini disebut post-authoritarian anxiety. Semacam ketakutan bahwa sejarah akan menagih utang moral yang ditinggalkan.
Maka Jokowi wara-wiri, tak bisa diam, tak berani jauh dari panggung. Karena panggung itulah satu-satunya tempat ia merasa aman. Di luar itu, ada gelap. Ada kritik.
Ada kenyataan bahwa dirinya bukan lagi Presiden, tapi mantan presiden yang tak meninggalkan warisan keilmuan, kebudayaan, atau moralitas. Hanya proyek-proyek fisik yang hampa jiwa.
Maka apa yang tampak kini adalah potret kegelisahan yang menjelma aktivitas berlebihan.
Seorang mantan presiden yang terlalu aktif bukanlah tanda kemajuan, melainkan jejak dari masa lalu yang tak pernah selesai dibereskan.
Karena ketika seorang pemimpin menutup masa jabatannya dengan tipu daya dan perpanjangan ambisi, maka yang tersisa hanya upaya mempertahankan kekuasaan tanpa jabatan—dan itu jauh lebih melelahkan dari memimpin negara. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Eks Kabais Muncul Bela Gatot Nurmantyo, Ungkap Nyali Hercules di Timtim Penakut: Pak Tolong Saya
Habib Rizieq Shihab Dukung Penuh Purnawirawan TNI Makzulkan Gibran: Tambah Satu, Tangkap & Adili Jokowi!
Roy Suryo Terlanjur Percaya Diri, Skripsi Jokowi di Perpustakaan Ternyata Salinan, Lalu Aslinya Dimana?
Remaja Belawan Tewas Ditembak Kapolres, KontraS: Jangan Biarkan Korban Dibunuh Dua Kali