POLHUKAM.ID - Isu panas mengenai dugaan penguntitan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah oleh anggota Densus 88 Antiteror Polri terus bergulir.
Mantan Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, angkat bicara dengan analisis tajam yang menguliti insiden tersebut dari akar masalahnya: penyalahgunaan wewenang, pelanggaran etika profesi yang serius, hingga menyinggung aroma tak sedap praktik "backing".
Oegroseno secara fundamental mempertanyakan dasar penugasan anggota Detasemen Khusus 88, satuan elite yang seharusnya fokus pada penanganan terorisme, untuk melakukan tugas pengintaian terhadap pejabat tinggi di institusi penegak hukum lain.
"Saya bilang kalau penguntitan dalam rangka apa? Ilmu penguntitan itu kan penyelidikan. Ilmu penyelidikan yang ahlinya kan intelijen," ujar Oegroseno dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV.
Ia melanjutkan, "Nah, intelijen kalau misalnya ketangkap musuh itu risiko. Tapi kalau dia sampai ketangkap musuh berarti dia tidak punya ilmu penguntitan atau ilmu intelijen."
Bagi Oegroseno, penugasan ini bukan sekadar salah prosedur, melainkan sebuah penyimpangan serius dari mandat utama Densus 88.
Hal ini secara langsung menjurus pada pelanggaran kode etik profesi Polri.
"Itu bukan tugasnya Densus kecuali berkaitan dengan teroris loh. berarti ini ada pelanggaran etika profesi cukup berat," tegasnya.
Pertanyaan krusial yang kemudian muncul adalah siapa yang berada di balik perintah tersebut.
Oegroseno membedah dua kemungkinan: inisiatif pribadi anggota atau perintah atasan.
Keduanya, menurutnya, berujung pada konsekuensi serius.
"Perintah siapa dia? Pribadi atau perintah atasan? Kalau pribadi ya bisa diajukan untuk dianggap tidak layak di polisi bisa diberhentikan tidak dengan hormat loh kalau pribadi loh ya," jelasnya.
Namun, ia lebih condong pada kemungkinan adanya perintah dari struktur komando, mengingat hierarki ketat di satuan seperti Densus 88.
"Yang bisa memberikan perintah kepada personel Densus 88 pasti ada atasannya yang perintah gitu kan. Semua ada strukturnya sendiri," kata dia.
Sinyal 'Backing' dan Penyalahgunaan Wewenang
Lebih jauh, Oegroseno menyoroti kemungkinan adanya motif tersembunyi di balik operasi penguntitan tersebut, yang ia sebut mirip dengan praktik "backing".
Ia mensinyalir adanya kemungkinan pihak-pihak yang merasa terusik dengan langkah penegakan hukum yang dilakukan Jampidsus, kemudian memanfaatkan relasi pertemanan dengan oknum di kepolisian.
"Jadi ada hal-hal tertentu yang banyak terjadilah. banyak terjadi misalnya kan dalam penegakan hukum ya dalam penegakan hukum mungkin di situ, di sisi lain ada yang merasa apa dirugikanlah ini kan berarti kan juga punya teman," ungkapnya.
Menurutnya, mekanisme yang benar seharusnya melalui laporan resmi, bukan dengan mengerahkan anggota untuk membuntuti secara ilegal.
"Nah, ini kan dari cerita cerita cerita dan sebagainya. Tapi kalau misalnya yang dirugikan ini temannya Polri ini kan bikin laporan resmi dulu, didalami dulu. Jangan karena berteman panggil anggota coba buntuti. Enggak bisa seperti itu. Kayak backing," jelas Oegroseno.
Selain mengkritik aspek kewenangan dan motif, Oegroseno juga menyoroti amatirnya teknik penguntitan yang dilakukan.
Menurutnya, metode yang digunakan sangat gegabah dan tidak mencerminkan profesionalisme operasi intelijen.
"Kalau objek diduga masih abu-abu ya jangan ditempel dulu. Buat apa? kan sekarang mengikuti kan bisa kerja sama misalnya pembuntutan di hotel misalnya gitu kan bisa pakai CCTV ada enggak di situ kan kerja sama namanya undercover kan bisa kerja sama dengan petugas hotel," paparnya.
"Jangan secara basic hadir main pakai HP itu bukan penyamparan yang full undercover itu ya."
Ia juga menyayangkan anggota di lapangan yang menjadi korban dari perintah yang keliru.
Anggota yang hanya menjalankan tugas bisa menanggung risiko besar, padahal mereka memiliki keluarga dan bertugas atas nama institusi.
"Menurut saya pembuntutan jampidsus ini pelanggaran etika profesi berat. coba kalau misalnya jadi korban anggota Iya. terus anggota mau disalahkan padahal anggota juga pasti punya keluarga ya kan dia pasti bertugas pamit sama keluarganya," ujarnya.
Sebagai seorang purnawirawan jenderal, Oegroseno mengingatkan bahwa setiap anggota Polri memiliki hak untuk menolak perintah atasan yang jelas-jelas melanggar hukum dan peraturan yang berlaku.
"Dan kalau misalnya targetnya tidak pas. Kita juga dari dulu sudah disampaikan bahwa kalau ada perintah yang tidak perintah atasan yang tidak sesuai dengan undang-undang atau peraturan bisa ditolak. Perintah loh ya, Pak. Ini bukan tugas kami," pungkasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Lanjutan OTT Bupati Koltim Abd Azis, KPK Geledah Kantor Kemenkes
Sosok Fuad Hasan Masyhur, Bos Travel yang Terbelit Kasus Kuota Haji, Ternyata Mertua Menpora Dito Ariotedjo
Dicegah KPK ke Luar Negeri, Eks Menag Yaqut Minta Publik Tak Berspekulasi
Terungkap, Ini Motif di Balik Dugaan Kekerasan yang Tewaskan Prada Lucky Namo di NTT