POLHUKAM.ID - Jauh sebelum 11 September menjadi sinonim dengan menara kembar yang runtuh, tanggal itu telah terukir dalam sejarah kelam sebuah bangsa di Amerika Latin.
Di jalanan Santiago, Chile, pada awal 1970-an, sebuah pesan singkat yang ganjil mulai merayap di tembok-tembok kota.
Ditulis dengan cat semprot yang tergesa-gesa, dua kata itu membawa aura ancaman yang tak terucap bagi mereka yang memahaminya: “Jakarta se acerca.”
"Jakarta segera datang."
Bagi seorang anak muda hari ini, nama itu mungkin hanya membangkitkan citra metropolitan yang padat.
Namun, bagi para aktivis, mahasiswa, dan pendukung Presiden Salvador Allende saat itu, nama ibu kota Indonesia adalah bisikan dari liang kubur.
Itu adalah kode, sebuah janji pertumpahan darah yang telah terbukti keampuhannya di belahan bumi lain.
Itu adalah hantu dari pembantaian massal yang melintasi samudra untuk meneror mereka.
P
Luka Bernama Jakarta, 1965
Untuk menyibak makna di balik grafiti mengerikan itu, kita harus menarik waktu mundur ke salah satu bab paling brutal dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan.
Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sebuah operasi pembersihan anti-komunis yang sistematis dilancarkan oleh militer di bawah komando Jenderal Soeharto.
Dalam beberapa bulan yang penuh teror, ratusan ribu nyawa—ada yang menyebut 500.000, yang lain lebih dari satu juta—melayang.
Mereka adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), simpatisan, seniman, guru, buruh, dan siapa pun yang dianggap berafiliasi dengan kiri.
Sungai-sungai menjadi kuburan massal, dan desa-desa kehilangan satu generasi.
Peristiwa ini secara efektif memusnahkan gerakan kiri terbesar ketiga di dunia dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru.
Di panggung global Perang Dingin, “keberhasilan” ini tidak luput dari perhatian.
Seperti yang ditulis oleh jurnalis Vincent Bevins dalam bukunya yang mengguncang, The Jakarta Method: Washington's Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World, apa yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah model, sebuah cetak biru.
"Jakarta" berhenti menjadi sekadar nama kota; ia menjadi sebuah metode.
'Surga Sosialisme' Mekar di Chile
Sementara Indonesia terkunci dalam cengkeraman kediktatoran militer, sebuah eksperimen demokrasi yang berani justru sedang bersemi di Chile.
Pada tahun 1970, Salvador Allende, seorang dokter berhaluan Marxis, memenangkan pemilu.
Kemenangannya adalah sebuah anomali bersejarah: seorang sosialis yang naik ke tampuk kekuasaan melalui kotak suara, bukan laras senjata.
Pemerintahannya, yang didukung koalisi partai-partai kiri, segera memulai reformasi radikal: menasionalisasi industri tembaga yang vital, membagikan tanah kepada petani, dan menyediakan susu gratis untuk anak-anak.
Namun, langkah-langkah ini mengancam kepentingan elite lokal dan korporasi multinasional Amerika yang telah lama mengeruk kekayaan Chile.
Di Washington, pemerintahan Nixon melihat Allende sebagai "virus" yang bisa menyebar.
P
Operasi rahasia untuk "membuat ekonomi Chile menjerit" pun dijalankan oleh CIA.
Di tengah tekanan ekonomi dan sabotase politik itulah, grafiti "Jakarta is coming" mulai menghantui jalanan.
Bevins mencatat dalam bukunya, ini adalah perang psikologis yang disengaja.
Pesan itu adalah penanda bahwa model pemusnahan tanpa ampun yang terjadi di Indonesia akan segera diekspor ke Chile.
Ancaman itu, yang awalnya hanya coretan di dinding, perlahan menjadi kenyataan yang membayangi.
Saat Jakarta Benar-benar Tiba
Pagi hari tanggal 11 September 1973, Jenderal Augusto Pinochet, panglima angkatan bersenjata yang diangkat Allende, melancarkan kudetanya.
Jet-jet tempur Hawker Hunter meraung di atas langit Santiago, mengebom Istana Kepresidenan La Moneda.
Allende, dengan senapan AK-47 pemberian Fidel Castro di tangannya, menolak untuk menyerah.
Dalam siaran radio terakhirnya yang legendaris, dengan suara ledakan terdengar di latar, ia berkata,
"Saya tidak akan mengundurkan diri... Saya akan membayar kesetiaan rakyat dengan nyawa saya."
Ia menepati janjinya. Kudeta itu membuka gerbang neraka. Stadion Nasional Santiago diubah menjadi kamp konsentrasi dan ruang penyiksaan.
Selama 17 tahun berikutnya, rezim Pinochet membunuh ribuan orang, menyiksa puluhan ribu, dan memaksa ratusan ribu lainnya mengasingkan diri.
Metode Jakarta telah tiba, dengan segala kebrutalannya. Seperti yang diungkapkan Bevins, pendekatan bumi hangus ini diekspor ke seluruh dunia.
Kisah ini adalah pengingat yang pedih bahwa sejarah tidak terjadi dalam ruang hampa.
Tragedi di satu negara dapat menjadi senjata di negara lain.
Bevins menyimpulkan dengan getir siapa pecundang sesungguhnya dalam pertarungan ideologi abad ke-20: "para pecundang utama abad kedua puluh adalah mereka yang terlalu tulus percaya pada keberadaan tatanan internasional yang liberal, mereka yang terlalu percaya pada demokrasi, atau terlalu percaya pada apa yang Amerika Serikat katakan didukungnya, daripada apa yang sebenarnya didukungnya... Kelompok itu dimusnahkan."
Bagi kita hari ini, gema "Jakarta" di dinding Santiago lebih dari sekadar catatan kaki sejarah.
Ini adalah pelajaran tentang bagaimana narasi dibentuk oleh pemenang, dan bagaimana kebenaran yang mengerikan sering kali terkubur dalam-dalam.
Seorang aktivis Indonesia yang selamat dari tragedi 1965 memberikan jawaban paling ringkas dan menyakitkan kepada Bevins saat ditanya bagaimana Barat memenangkan Perang Dingin: "Kalian membunuh kami."
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Secuil Plot Serangan Gagal Israel, Petinggi Hamas Selamat karena Tinggalkan Ruang Rapat untuk Shalat
Taiwan Laporkan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit Mengandung Etilen Oksida
HEBOH Demo Block Everything Guncang Prancis, Juga Terinspirasi Indonesia?
Dituduh Netanyahu Lindungi Hamas, Qatar Beri Balasan Menohok!