Membahas relasi antara pendidikan dengan kapitalisme maupun neoliberalisme. Terutama bagaimana tujuan pendidikan berusaha untuk membentuk individu yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis dan keinginan komparador kapitalis yang terus bekerja menciptakan ketergantungan antarnegara—terutama negara-negara miskin, jajahan, karena konflik perang, akibat bencana. Ruang itu selalu menjadi target operasi dari kakai kapitalis untuk menancapkan cangkang politik ekonominya di dunia.
Terkait dengan diskursus tersebut, kita dapat mengambil beberapa contoh kritik terhadap pendidikan kapitalis seperti dalam ‘Neoliberalism’s War on Higher Education’ (2011) oleh sosiolog pendidikan Henry Giroux, yang memperlihatkan bagaimana kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi di negara-negara maju telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dikarenakan institusi pendidikan tinggi menjadi sebuah ‘pasar’ ketimbang sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para pendidik pun adalah return of investment (ROI) dari ‘investasi’ para mahasiswa ini.
Atau dengan kata lain, institusi pendidikan berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspekstasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat. Giroux berargumen, dengan fokus yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan perlahan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa. Kondisi tersebut menciptakan “kampus dipenuhi pasar, dan pasar dipenuhi mahasiswa”---dampaknya adalah surutnya daya kritis mahasiswa terhadap fenomena sosial, sebab pilihannya adalah lebih baik shooping ketimbang demonstrasi. Lebih sibuk membaca daftar menu, harga pakaian, daripada membaca buku. Literasi pengetahuan semakin menurun bahkan di titik nadir.
Seorang ekonom, Samuel Bowles & Herbert Gintis dari Amerika Serikat, melalui bukunya yang ditulis lebih dari 40 tahun yang lalu, ‘Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life’ (1976), juga telah mengkritisi bagaimana sistem pendidikan (pedagogi, kurikulum, beserta beragam aturan institusi pendidikan) disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme.
Dalam upaya menghasilkan ‘logika kapitalisme’. Salah satu ciri khas menanamkan apa yang oleh ahli pendidikan kritis dan filsuf Paulo Freire (1973) disebut sebagai “budaya diam”, sebuah pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hirarki layaknya sebuah mesin korporat. Yang memposisikan guru dan dosen sebagai agen tunggal yang memenopoli kebenaran, sementara murid dan mahasiswa harus patuh padanya. Ruang kritis ditutup dengan cara memenopoli pengetahuan, dan mengambil sedikit peran Tuhan tentang kebenaran.
Akibatnya, ruang kelas dalam pendidikan menjadi hening, sepi seperti kuburan—pendidikan tidak memberikan rasa bahagia pada peserta didiknya. Yang muncul adalah budaya manut-nurut (Parocial Culture). Budaya parokial ini seperti membangun ketaatan semu; artinya seseorang hanya yes, nurut, manut hanya karena menghargai seorang guru dan dosen—bukan karena pengetahuan yang diucapkannya.
Model pendidikan ini berhasil membangun doktrin “keterpenjaraan” mahasiswa, dan tidak boleh protes apalagi kritis. Akhirnya membentuk budaya diam dalam siklus dialektis dalam sistem pendidikan. Sehingga alasan ini kemudian menjadikan Paulo Freire menentang model pendidikan “Gaya Bank”—yang kemudian Freire menulis buku yang cukup terkenal dengan “Pendidikan Kaum Tertindas”.
Dan Bowles & Gintis, Giroux dan Freire beserta beberapa pemikir lainnya seperti sosiolog Pierre Bordieu dan sosiolog pendidikan Michael Apple, telah berusaha secara kritis membahas mengenai pendidikan sebagai alat reproduksi sosial dan kontrol sosial. Mereka tidak hanya berbicara mengenai sistem pendidikan yang berusaha menghasilkan individu kapitalis, tetapi lebih dari itu, bagaimana pendidikan melalui kekuasaan yang dominan juga mereproduksi dan memperdalam ketimpangan sosial.
Pendidikan yang dilihat dan diharapkan banyak orang sebagai jalur emansipasi mereka, terutama bagi mereka yang berasal dari kelas bawah, pada akhirnya tidak mampu membawa mereka keluar dari keadaan terpuruk dan tertindas mereka. Bahkan, dalam banyak hal, pendidikan hanya mengembalikan mereka ke posisi sosio-ekonomi semula. Pendidikan hanya bisa diakses bagi mereka yang berduit (kelompok borjuasi), pendidikan berbiaya tinggi bukan karena mutu pendidikan tetapi ruang-ruang kelas dibandrol dengan harga yang mahal, dan sekali lagi ini adalah wujud nyata dari liberalisasi pendidikan yang digerakkan oleh komparador kapitalis. Artinya keberpihakan dunia pendidikan belumlah sepenuhnya menjalankan amanah konstitusi; yakni setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang setara.
Kesadaran Kritis
Sosiolog C. Wright Mills (1959) dengan konsep sociological imagination –nya dan juga pemikiran-pemikiran Paulo Freire (1970, 1973) tentang pedagogi kritis. Melalui sociological imagination atau imajinasi sosiologis, Mills menerangkan bahwa imajinasi ini dapat membantu seseorang memahami hubungan antara pengalaman kehidupan kesehariannya dengan struktur sosial dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana pola konsumsi pribadi keseharian kita tak lepas dari konstruksi sosial yang turut dibentuk oleh industri kapitalis lokal maupun global. yang justru memberi dampak signifikan bagi masyarakat lokal.
Begitu juga dengan bagaimana kita mengalami kelas sosio-ekonomi kita (dengan beragam privilege yang dirasakan kelas atas maupun penindasan yang dirasakan harian oleh kelas bawah) yang telah dibentuk oleh struktur saat ini dan juga secara historis. Dan nampak begitu hirarki kesenjangan itu terjadi; indek akademik rendah, tapi kaya, maka dia akan mendapatkan akses dan fasilitas pendidikan yang diinginkan, sementara ada yang indek akademiknya tinggi (berprestasi), tapi miskin, dia tidak layak mendapatkan privilege dari negara. Kapitalisme pendidikan berhasil memproduksi ketimpangan sosial yang menganga lebar.
Dari sini kembali Freire berpendapat serupa namun melihatnya dari perspektif pendidikan. “Apa yang dibutuhkan”, menurut Freire (1973), “adalah pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis”. Ia kemudian selebihnya menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan peran mereka dalam konteks sosio-politiknya. Bukan sebuah pendidikan yang mengindoktrinasi, namun pendidikan yang emansipatoris dan membebaskan.
Yang diharapkan oleh Freire akan sebuah pendidikan yang reflektif, sekali lagi reflektif terhadap diri maupun struktur sosio-politik di sekitar kita, adalah agar terbentuknya dan meningkatnya sebuah kapasitas kritis untuk memilih. Membentuk sebuah masyarakat yang sejatinya demokratis, yang mampu mengerti ketika kebutuhan mereka telah ditunggangi oleh kepentingan para elit, yang mampu melihat melampaui retorika politis, maupun populisme yang dilandasi politik identitas. Pendidikan yang kita memiliki saat ini hanya mematikan pikiran kita, tak menyentuh secara kritis keadaan masyarakat kita dan hanya menanamkan retorika toleransi yang dilandasi oleh solidaritas semu. Dan pendidikan emansipatoris ala Freire bukanlah sebuah angan-angan utopis. terbukti di beberapa negara melakoni pikiran Freire tentang pendidikan kritis yang membebaskan
Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia, dengan konsep keteladanan yang progressif, kini semakin memudar. Melihat keadaan pendidikan kita saat ini, minim akan nilai-nilai progresif, maupun kesadaran kritis dan bagaimana pendidikan masih sangat dikendalikan oleh narasi sosio-politik mereka yang berkuasa. Indonesia telah menyimpang jauh dari gagasan revolusionernya akan pendidikan yang emansipatoris. Sistem pendidikan di Indonesia sangat-sangat politis, artinya tidak ada perubahan paradigma yang radikal untuk membangun landasan filosofis, sosoiologis, antropologis yang kritis yang memungkinkan kesadaran kritis itu muncul, tetapi karena nuansa politis yang kuat justru menciptakan budaya diam, atau lebih ekstrimnya lagi membungkam nalar kritis. Apa yang dimiliki masyarakat Indonesia saat ini adalah pendidikan untuk pasifikasi. Untuk diam. Untuk bungkam. Pendidikan yang hanya melahirkan pion-pion irrasionalitas. Pendidikan yang jauh dari membebaskan; perlahan memenjarakan.
Sekali lagi, pendidikan kapitalis bukan hanya membentuk budaya diam di kalangan kelompok terpelajar (mahasiswa dan siswa), tetapi juga berhasil membentuk (sebagian) dosen dan guru yang sangat materialistik dengan memburu legacy sertifkasi—namun minim karya (buku, jurnal, ilmiah kontemporer) termasuk rendahnya penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Logikanya, bagaimana mungkin mahasiswa/siswa bisa merdeka berfikir, punya kesadaran kritis, kalau pendidiknya (dosen, guru) menjadi kaki tangan kapitalisme yang bertopeng pengetahuan.
Karena itu, sistem pendidikan perlu rejuvenasi yang radikal, melepaskan ikatan-ikatan politis, agar pendidikan leluasa secara sadar untuk membangun kualitas manusia yang paripurna, penghormatan kepada nilai-nilai, kemampuan adaptif pada lingkungan dunia yang terus berkembang dan berubah. Kalau Finlandia menjadi salah satu negara yang pendidikannya terbaik di dunia, kenapa Indonesia tidak.
Epilog ;
“Bila pendidikan tidak memproduksi nalar kritis, maka pendidikan adalah keterpenjaraan. Bila pendidikan tidak memberi ruang pikiran yang bebas, maka pendidikan hanya tempat penampungan. Bila pendidikan tidak memberi kemerdekaan berfikir, maka pendidikan adalah penindasan”
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Kritikus Sosial Politik, Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan POLHUKAM.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi POLHUKAM.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Brimob Kabur saat Akad Nikah, Calon Istri Sampai Pingsan, Acara Diganti jadi Khitanan
How to Save Money Smartly in 2025: Tips for Everyday Shoppers
Gelar Sholawat Bersama di Kediaman Jokowi, Rombongan Kyai Semarang: Rumah Pak Jokowi Adalah Destinasi Wisata Religi!
Bupati Sudewo di Ujung Tanduk, DPRD Pati Sepakat Bentuk Pansus Pemakzulan