PEMANGGILAN Abraham Samad indikasi kriminalisasi, namun juga mengarah pada judicial harassment, penggunaan hukum sebagai alat tekanan politik kah?
Pemanggilan terhadap Abraham Samad di Polda Metro Jaya, hari ini, Rabu, 13 Agustus 2025 atas tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo terkait konten di podcast-nya perlu dilihat secara proporsional.
Penyelidik harus berbasis pada bukti yang terukur, bukan asumsi yang terkesan dibungkus dengan dalih penegakan hukum.
Catatan saya, ini bukan hanya indikasi kriminalisasi, tapi juga mengarah pada judicial harassment, penggunaan hukum sebagai alat tekanan politik.
Dalam negara demokrasi, praktik seperti ini merupakan sinyal alarm bahaya: hukum kehilangan netralitasnya, aparatur diduga akan kehilangan independensinya, dan warga negara kehilangan rasa aman, di mana ruang kebebasan untuk berpendapat, demokrasi dan berekspresi akan hampa dari forum edukasi maupun koreksi publik.
Jika proses hukum diarahkan kepada orang-orang yang dianggap mengganggu, disebabkan karena menyampaikan koreksi, kritik atau menyuarakan keresahan pendapat publik, ini berpotensi masuk kategori kriminalisasi.
Termasuk pula sejalan dengan konsep judicial harassment, yakni penggunaan mekanisme hukum untuk melemahkan atau mengintimidasi bagi kelompok penekan yang mengoreksi (pressure group/pengkritik sosial), termasuk dapat menjadi masalah sistemik serta kalau ini menjadi liar dapat jadi dampak negatif sekaligus pemicu permasalahan sosial yang menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum.
Semestinya hak berpendapat dan ekspresi warga negara sepanjang dilakukan secara bertanggung jawab dan tujuannya demi kepentingan hukum dan mengungkap, termasuk permasalahan hak informasi publik, seharusnya negara melalui aparat penegak hukum melindungi, bukan pula untuk menjadi bagian penghambat.
Karenanya pihak kepolisian termasuk Kompolnas dan pemerintah harus menjamin bahwa langkah panggilan ini murni untuk menegakkan hukum, bukan membungkam kritik atau pandangan yang tidak sejalan dengan pihak-pihak tertentu dalam organ kekuasaan.
Di negara hukum yang demokratis, aparat penegak hukum sejatinya sebagai penjaga ruang kebebasan berpendapat, bukan alat untuk menutupnya.
Kepolisian dalam pemeriksaan ini harus objektif, netral dan semestinya menjadi garda terdepan melindungi hak warga negara, bukan sebaliknya hukum tercemar oleh campur tangan kekuatan politik yang tidak sehat dan menimbulkan kesan membungkam ekspresi koreksi publik.
Integritas hukum akan runtuh jika hukum dipermainkan sebagai senjata politik.
OLEH: AZMI SYAHPUTRA
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan POLHUKAM.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi POLHUKAM.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Politik Laba-laba Prabowo
Demo Pati, Politikus Demokrat: Dikompori Calon Bupati Kalah dan Didukung PDIP–PKS serta PPP–PAN
Tuntutan Mundur Bupati Pati Makin Kencang Menggema di X
Didemo Besar-besaran Rakyatnya, Sudewo Bupati Pati Ternyata Diendorse Kaesang dan Jokowi saat Pilkada