Demonstrasi Pati dan Kedaulatan Rakyat

- Sabtu, 16 Agustus 2025 | 13:15 WIB
Demonstrasi Pati dan Kedaulatan Rakyat


DI Pati, Jawa Tengah, ribuan warga mendadak tercekik. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mereka melonjak hingga 250 persen dalam satu tahun. Tidak ada perundingan, tidak ada musyawarah, apalagi persetujuan rakyat. Surat ketetapan pajak dikirim seperti perintah yang tak bisa ditawar. Ini bukan sekadar soal angka di secarik kertas, melainkan potret telanjang dari bagaimana kekuasaan, ketika jauh dari kendali rakyat, bisa berubah menjadi tangan besi yang menekan mereka yang paling lemah.

Kenaikan PBB di Pati hanyalah satu fragmen dari cerita panjang tentang erosi kedaulatan rakyat di negeri ini. Dalam teori demokrasi yang kita agungkan, rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemegang hak tertinggi untuk menentukan arah kebijakan. Namun dalam praktik, keputusan-keputusan penting yang menyentuh langsung perut dan kehidupan rakyat kerap diambil secara sepihak oleh elite, baik di pusat maupun daerah. Demokrasi berubah menjadi formalitas lima tahunan, sedangkan di antara itu, suara rakyat nyaris tak terdengar.

PBB sejatinya adalah instrumen negara untuk membiayai pelayanan publik. Ia sah secara hukum, tetapi adil hanya jika diterapkan dengan proporsional, transparan, dan memperhatikan daya dukung ekonomi masyarakat. Di Pati, lonjakan hingga 250 persen dalam waktu singkat jelas melampaui batas kewajaran. Bagi petani yang penghasilannya bergantung pada harga gabah yang terus ditekan, atau pedagang kecil yang masih berjuang pulih pasca-pandemi, kenaikan ini bukan sekadar memberatkan tapi mencekik.

Ironisnya, kebijakan seperti ini sering dibungkus dengan narasi pembangunan. Katanya, penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) diperlukan agar penerimaan daerah meningkat demi membiayai infrastruktur dan pelayanan publik. Tetapi, ketika pembangunan hanya terlihat di pusat kota sementara desa-desa tetap berkubang dalam jalan rusak dan irigasi yang terbengkalai, publik patut bertanya: untuk siapa sebenarnya kenaikan pajak ini? Apakah benar demi kepentingan bersama, atau sekadar memenuhi target fiskal yang ditetapkan di ruang rapat tertutup?

Arogansi elite terlihat jelas dalam pola pengambilan keputusan yang menyingkirkan partisipasi rakyat. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan aspirasi warga, justru sering memposisikan diri sebagai penguasa yang memerintah dari atas. Padahal, kedaulatan rakyat bukan hanya slogan dalam pembukaan UUD 1945, melainkan mandat yang mengikat penyelenggara negara untuk selalu menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek kebijakan.

Kebijakan PBB di Pati ini adalah cermin dari tren nasional yang mengkhawatirkan: fiskalisme yang membabi buta. Demi menutup defisit dan memenuhi target pendapatan, pemerintah sering mengambil jalan pintas dengan menaikkan pungutan, tanpa memikirkan daya tahan rakyat. 

Lihat saja, bukan hanya di Pati, di berbagai daerah lain pajak dan retribusi melonjak tanpa pertimbangan yang memadai. Ini terjadi bersamaan dengan fakta bahwa kebocoran anggaran, pemborosan, dan belanja yang tidak produktif masih merajalela. Rakyat diminta mengencangkan ikat pinggang, sementara sebagian elite politik dan birokrat justru menambah lubang di ikat pinggang mereka untuk menampung fasilitas dan tunjangan baru.

Di titik ini, kita perlu bertanya ulang: di mana posisi rakyat dalam republik ini? Apakah mereka masih pemegang kekuasaan tertinggi sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi, atau hanya menjadi sapi perah bagi sistem yang semakin oligarkis? Kedaulatan rakyat seharusnya berarti bahwa setiap kebijakan publik, terutama yang berdampak langsung pada kehidupan mereka, harus diambil melalui proses yang terbuka, partisipatif, dan akuntabel. Kedaulatan berarti ada ruang bagi rakyat untuk menolak, memperdebatkan, atau merevisi kebijakan yang tidak adil.

Kenaikan PBB 250 persen di Pati terjadi justru karena ruang itu tidak ada. Tidak ada forum desa yang sungguh-sungguh dihidupkan untuk membicarakan dampak kebijakan pajak ini. Tidak ada kajian keterjangkauan yang dibuka ke publik. Tidak ada transparansi penggunaan dana pajak. Yang ada hanyalah pemberitahuan sepihak yang berlaku layaknya titah. Ini adalah bentuk perampasan kedaulatan yang halus tapi mematikan, karena ia berlangsung di bawah payung hukum dan administrasi negara.

Kita tentu tidak anti pajak. Pajak adalah darah negara. Tanpa pajak, jalan raya tak akan mulus, sekolah tak akan berdiri, dan puskesmas tak akan beroperasi. Tetapi pajak yang adil mensyaratkan distribusi beban yang proporsional dan penggunaan yang transparan. Pajak yang adil menempatkan rakyat sebagai mitra, bukan target pendapatan semata. Pajak yang adil tidak naik 250 persen dalam semalam, apalagi tanpa penjelasan yang memadai.

Yang terjadi di Pati adalah contoh bagaimana elite bisa terjebak dalam logika fiskal yang sempit, mengorbankan legitimasi sosial demi memenuhi angka di neraca pendapatan daerah. Ini adalah pelajaran pahit bagi kita semua: kedaulatan rakyat bukan hanya soal hak memilih, tetapi juga hak mengendalikan arah kebijakan publik sehari-hari. Jika rakyat tidak mengawasi, mengkritik, dan bila perlu menolak kebijakan yang tidak adil, kedaulatan itu akan terus tergerus.

Sejarah menunjukkan, pajak yang tidak adil bisa menjadi pemicu kemarahan rakyat. Dari Boston Tea Party di Amerika hingga berbagai pemberontakan petani di Eropa dan Asia, beban pajak yang melampaui batas daya dukung selalu berakhir dengan perlawanan. Di Indonesia, kita mungkin tidak akan melihat pemberontakan fisik dalam waktu dekat, tetapi kita sudah mulai melihat tanda-tanda ketidakpercayaan yang menguat. Rakyat yang kehilangan kepercayaan pada pemerintah akan memilih untuk menghindar, baik dengan mengurangi kepatuhan pajak, menarik partisipasi politik, atau bahkan memindahkan dukungan ke kekuatan alternatif yang menjanjikan keadilan.

Karena itu, jika pemerintah daerah di Pati dan daerah-daerah lain ingin mempertahankan legitimasi, mereka harus kembali ke prinsip dasar: kedaulatan ada di tangan rakyat. Setiap kebijakan pajak harus lahir dari dialog yang sejajar antara pemerintah dan warga. Setiap kenaikan harus didasarkan pada kajian yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan yang terpenting, setiap rupiah yang dipungut harus kembali dalam bentuk pelayanan publik yang nyata dan dapat dirasakan oleh mereka yang membayar.

Kasus PBB di Pati adalah alarm keras bahwa demokrasi kita sedang bergerak ke arah yang salah. Ia mengingatkan kita bahwa tanpa partisipasi aktif rakyat, kedaulatan hanyalah kata kosong. Dan tanpa kesadaran bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, elite akan terus merasa berhak memutuskan segalanya sendiri, bahkan hal-hal yang menyangkut hak hidup paling dasar warga.

Jika kita tidak ingin republik ini berubah menjadi kerajaan kecil-kecilan di setiap daerah, kita harus menegakkan kembali kedaulatan rakyat. Bukan hanya di bilik suara, tetapi di setiap meja perundingan kebijakan. Bukan hanya lewat slogan, tetapi lewat mekanisme nyata yang mengikat pemerintah untuk tunduk pada suara rakyat. Sebab, pada akhirnya, negara ini bukan milik segelintir elite yang pandai mengatur angka, melainkan milik jutaan rakyat yang setiap hari membayar ongkos untuk tetap percaya pada janji kemerdekaan. 

Oleh: Suroto
Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan POLHUKAM.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi POLHUKAM.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar