Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 hanya berisi retorika kosong dan tidak menyentuh akar persoalan.
Presiden memang mengutip Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun realitas selama puluhan tahun menunjukkan hal sebaliknya.
"Kekayaan alam memang dikuasai negara, tetapi hasilnya tidak kembali pada rakyat. Justru segelintir korporasi besar yang menikmati keuntungan, baik yang memiliki kedekatan langsung dengan lingkaran istana dan parlemen, maupun para pebisnis yang merangkap sebagai politisi di senayan dan istana," kata Alfarhat Kasman, Divisi Kampanye JATAM kepada Monitorindonesia.com, Minggu (17/8/2025).
Presiden berbicara lantang tentang lebih dari seribu tambang ilegal yang merugikan negara ratusan triliun rupiah, bahkan menyatakan tidak gentar menghadapi “orang besar” yang membekingnya.
"Namun pertanyaannya, jika memang pemerintah tidak gentar, mengapa praktik ini dibiarkan berlangsung bertahun-tahun, termasuk dalam masa kepemimpinan Prabowo?".
"Sejumlah nama aktor besar yang membekingi tambang ilegal, toh, bukanlah rahasia lagi. Media berkali-kali melaporkan keterlibatan politisi, aparat keamanan, hingga mantan pejabat tinggi dalam bisnis kotor ini," lanjutnya.
Telah banyak laporan investigasi yang menunjukkan bagaimana jaringan tambang ilegal ini beroperasi dengan perlindungan aparat dan restu pejabat tertentu, bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk menutupi praktik curang mereka.
Lebih jauh, retorika Prabowo juga mengabaikan fakta bahwa problem industri tambang bukan hanya pada operasi ilegal. Perusahaan yang memiliki izin sah sekalipun kerap melanggar hukum dan tetap dibiarkan beroperasi. Kita bisa melihatnya di pulau Wawonii, Kepulauan Sangihe, dan di Dairi.
Di Dairi, PT Dairi Prima Mineral (DPM) tetap melanjutkan operasi meskipun izin lingkungannya sudah dicabut setelah gugatan warga menang dan kasasi perushaaan ditolak di Mahkamah Agung.
"Salah satu pemegang saham perusahaan ini adalah Bakrie Group, milik keluarga Bakrie yang menyokong Prabowo dalam Pilpres kemarin," lanjutnya.
Selain itu, di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita, tetap beroperasi meski izin lingkungan dan izin pinjam pakai kawasan hutan yang digugat warga telah menang di MA.
Demikian juga dengan operasi tambang di PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe, yang tetap bertahan meski masyarakat menolak keras, dan bahkan adik kandung Presiden pernah dikabarkan hendak membeli sahamnya.
Gugatan warga atas izin tambang dan izin lingkungan pun telah menang di MA. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa tambang legal sekalipun tetap kebal hukum ketika terhubung dengan kekuasaan.
Lebih jauh, hampir semua perusahaan tambang di Indonesia menjalankan praktik yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat. Mereka merampas tanah tanpa persetujuan, menebangi hutan dan merambah kawasan konservasi, mencemari sungai dan laut yang menjadi sumber hidup masyarakat, dan membuka tambang di sekitar pemukiman.
"Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi, menjadi mesin pembunuh yang telah menelan nyawa banyak anak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah tidak hanya terletak pada “ilegal” atau “legal”, melainkan pada watak predatoris industri tambang itu sendiri, yang mendapat perlindungan dari negara," bebernya.
Cilakanya, dalam Pidato Prabowo itu, tampak ia hanya peduli dengan aspek ekonomi, soal negara yang kehilangan pendapatan. Ia tampak tak peduli dengan nasib rakyat yang tak hanya basis ruang produksinya yang lenyap, sebagian di antaranya bahkan megalamai kekerasan dan masuk penjara.
Dengan demikian, alih-alih menjadi solusi, pemerintah justru terjebak sebagai bagian dari masalah. Afiliasi politik dengan oligarki tambang membuat negara kehilangan independensi dalam mengatur sumber daya.
Regulasi dibuat longgar, pengawasan lemah, penegakan hukum tebang pilih, dan mekanisme perizinan disusun untuk menguntungkan korporasi.
"Karena itu, retorika Presiden tentang penindakan tambang ilegal hanyalah mimpi di siang bolong, sebab lingkar kekuasaan sendiri dililit erat oleh kepentingan bisnis tambang," katanya.
Pun, JATAM menegaskan, jika Presiden benar serius, kami tantang untuk membuka daftar nama pemain besar tambang ilegal itu dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
"Jika Prabowo tak unngkap, artinya pidato Presiden tidak lebih dari sekadar bacot kosong yang menutupi kenyataan bahwa pemerintah hari ini berdiri di pihak korporasi tambang, bukan rakyat dan lingkungan," pungkasnya.
Sumber: monitorindonesia
Foto: Presiden Prabowo Subianto/Net
Artikel Terkait
Duel Dua Konglomerat, Hary Tanoe vs Jusuf Hamka: Gugatan Rp103 Triliun Cuma Drama Kadaluwarsa?
Sisi Gelap Presiden RI: Dari Bung Karno Sampai Prabowo
Pacu Jalur Meriahkan HUT RI di Istana
Prabowo Hapus Tantiem Komisaris BUMN, Ade Armando: Its Okay