POLHUKAM.ID - Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja.
Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.
"Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar," kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar.
Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.
Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru.
Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.
"Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta," kata Tauhid, Senin (8/9/2025).
Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.
"Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya," paparnya.
Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah.
Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.
Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus.
Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal.
Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.
"Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal," terangnya.
Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.
"Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil," jelas Nailul.
Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru.
Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran," terangnya.
Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding.
Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.
"Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak," ucap Nailul.
"Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal," terangnya lagi.
Sumber: Detik
Artikel Terkait
Sidang Gugatan Ijazah SMA Gibran Rp 125 Triliun Ditunda karena Keberatan Penggugat
Sjafrie Sjamsoeddin Gantikan Budi Gunawan Jadi Menkopolkam?
Purbaya Yudhi Sadewa Gantikan Sri Mulyani Jadi Menkeu
Media Asing Soroti Tumbangnya Sri Mulyani, Sebut Dua Hal Ini Jadi Pemicu!