Dikritik Rektor Paramadina, Menkeu: Salah Undang-Undangnya, Pak Didik Harus Belajar!

- Rabu, 17 September 2025 | 02:35 WIB
Dikritik Rektor Paramadina, Menkeu: Salah Undang-Undangnya, Pak Didik Harus Belajar!




POLHUKAM.ID - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa membantah kritik yang dialamatkan ekonom senior Indef Prof Didik Junaidi Rachbini terkait penempatan dana Rp 200 triliun di Bank Himpunan Negara (Himbara). 


Menurut Didik, kebijakan Menkeu Purbaya melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.


"Pak Didik salah undang-undangnya," kata Purbaya menjawab pertanyaan Republika.co.id di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (16/9/2025).


Purbaya mengungkapkan, ia sempat dikontak pakar perundang-undangan Lambock V Nahattands yang menjelaskan dasar hukum kebijakan pemindahan dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) ke lima bank pelat merah


Hasil diskusi itu, menyimpulkan jika argumen Didik yang merupakan rektor Universitas Paramadina salah besar.


"Saya tadi ditelepon Pak Lambock, ahli undang-undang kan, dia bilang ke saya, 'Pak Didik salah'. Dan hal ini pernah dilakukan sebelumnya, dan ini bukan.. Uang kita yang dipindahkan saja," ucap Purbaya.


Dia pun balik menyarankan Didik untuk belajar perundang-undangan lagi agar tepat ketika mengkritiknya. 


"Dan saya sudah konsultasi ahli-ahli hukum di Kemenkeu dulu pernah dijalankan tahun 2008 bulan September, 2021 bulan Mei, dan tidak ada masalah. Pak Didik harus belajar lagi," ujar Purbaya.


Sebelumnya, Rektor Universitas Paramadina, Didik Junaidi Rachbini mengkritik langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp200 triliun ke Himpunan Bank Negara (Himbara). 


Adapun dana Rp200 triliun itu dibagi masing-masing Rp55 triliun ke Bank Mandiri, BRI, dan BNI.


Kemudian, BTN mendapatkan Rp25 triliun dan BSI Rp10 triliun. 


Didik menilai, penempatan dana tersebut melanggar konstitusi dan beberapa UU yang berlaku.


"Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp 200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar," ujar Didik dalam siaran pers kepada Republika di Jakarta, Senin (15/9/2025).


Ia menekankan, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur oleh tiga hal. 


Pertama UUD 1945 Pasal 23, berikutnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan terakhir UU APBN setiap tahun. 


Aturan itu adalah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang harus dijalankan.


"Karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan," ujar Didik.


Ekonom senior Indef tersebut menyebut, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. 


Pasalnya, jika tidak maka pada masa mendatang akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya, semau gue, dan sekehendak pejabatnya secara individu.


"Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah Presiden sekalipun. Pejabat-pejabat negara tersebut harus taat aturan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tidak ada tiba-tiba program datang nyelonong di tengah-tengah semaunya," jelas Didik.


Menurut Didik, program-program yang disusun teratur ada di dalam nota keuangan yang secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR


Karena anggaran negara ialah ranah publik, sambung dia, proses politik lewat legislasi dinilai mesti dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran.


Sumber: Republika

Komentar