OLEH: MUCHAMAD ANDI SOFIYAN*
GAJI seorang Menteri Keuangan Republik Indonesia saat ini diatur sebesar sekitar Rp5.040.000 per bulan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Jika dilihat secara kasat mata, angka ini tampak jauh dari layak untuk seorang pejabat tinggi negara dengan beban kerja yang begitu besar.
Namun yang sering terlupakan, nilai gaji itu tidak pernah direvisi sejak awal ditetapkan. Pertanyaannya, berapa sebenarnya nilai riil dari angka Rp5 juta itu jika kita ukur dengan standar yang lebih stabil?
Salah satu cara untuk mengukur nilai riil adalah dengan membandingkannya dengan harga logam mulia, khususnya perak. Tahun 2000, harga perak internasional rata-rata sekitar USD 4,95 per troy ounce, sementara kurs rupiah berada di kisaran Rp8.500 per USD. Artinya, harga perak per ons di Indonesia pada waktu itu adalah sekitar Rp42.000. Dengan gaji Rp5.040.000, seorang menteri saat itu sebenarnya menerima ekuivalen sekitar 120 ons perak.
Sekarang mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini. Pada September 2025, harga perak internasional berada di kisaran USD 28 per ons. Dengan kurs sekitar Rp15.000 per USD, maka harga perak per ons adalah Rp420.000. Jika kita hitung 120 ons perak dalam nilai rupiah hari ini, hasilnya mencapai Rp50.400.000.
Namun di sinilah letak masalahnya: perak bukanlah mata uang. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, hanya rupiah yang diakui sebagai alat pembayaran sah. Perak maupun emas tidak bisa digunakan langsung dalam transaksi sehari-hari. Meski begitu, perak dapat berfungsi sebagai tolok ukur stabil untuk menjaga keadilan nilai dari sebuah aturan hukum, termasuk soal gaji pejabat negara.
Jika kita terus menggunakan angka nominal rupiah dalam undang-undang atau peraturan, maka cepat atau lambat aturan itu akan kehilangan relevansinya karena inflasi. Jalan keluar yang masuk akal adalah dengan mengaitkan besaran rupiah dalam hukum kepada nilai logam mulia.
Misalnya, gaji Menteri Keuangan ditetapkan sebesar 120 ons perak murni, yang kemudian dibayarkan dalam rupiah sesuai kurs yang berlaku. Dengan begitu, aturan hukum tetap tunduk pada ketentuan rupiah sebagai mata uang sah, tetapi nilainya dijaga oleh standar yang lebih stabil.
Pendekatan ini akan membuat peraturan keuangan negara jauh lebih tahan lama, tidak lekang dimakan inflasi, dan tidak perlu direvisi berkali-kali. Lebih dari itu, ia juga memberi kepastian bahwa pejabat publik dibayar sesuai nilai riil, bukan angka nominal yang menyesatkan. Dalam konteks pembangunan hukum yang adil dan berkelanjutan, mengaitkan rupiah dengan perak adalah gagasan yang layak untuk dipertimbangkan secara serius.
*(Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub )
Artikel Terkait
Prancis Terancam Lumpuh Akibat Mogok Nasional
Dulu Batal Mundur, Hasan Nasbi Kini Dicopot Prabowo dari Kepala PCO
Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih Capai Rp17 Miliar, Viral gegara Isu Kepsek Dicopot
Saham Grup Mahaka Milik Erick Thohir Melejit