Oleh: Selamat Ginting
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang kembali menolak gugatan terkait peningkatan syarat minimal pendidikan bagi calon presiden, wakil presiden, hingga anggota DPR dan DPD menandai babak baru dalam stagnasi politik elektoral kita.
Dalam negara yang mendambakan kepemimpinan berkualitas, keputusan ini seolah mengamini bahwa membaca, menulis, dan berhitung sudah cukup untuk mengatur hajat hidup orang banyak.
Secara hukum, MK memang berada dalam kerangka konstitusionalisme. Hak dipilih adalah hak asasi yang tidak boleh dibatasi secara diskriminatif.
Namun secara politik dan etis, kita patut bertanya: Apakah demokrasi kita cukup sehat jika standar kualitas kepemimpinan justru dibiarkan serendah ini?
Perlu Keberanian Politik
Ironi semakin terasa ketika kita melihat perbandingan nyata dalam sistem rekrutmen profesi lainnya.
Untuk menjadi guru taman kanak-kanak -- yang mengajar anak usia dini -- negara mensyaratkan pendidikan minimal S-1.
Tapi untuk membuat undang-undang, menentukan arah pembangunan nasional, bahkan menjadi kepala negara, seseorang cukup bisa baca-tulis. Di mana letak rasionalitasnya?
Pendidikan memang bukan satu-satunya indikator kompetensi, namun ia adalah fondasi penting bagi pengambilan keputusan berbasis nalar, data, dan visi jangka panjang.
Dengan hanya mensyaratkan kemampuan dasar, kita membuka ruang yang terlalu lebar bagi populisme tanpa kapasitas, retorika tanpa kompetensi.
Dari sisi politik elektoral, keputusan MK ini menguntungkan partai-partai besar yang selama ini kerap mengedepankan popularitas di atas integritas.
Mereka bisa mengusung figur yang populer tapi minim pemahaman sistemik tentang tata negara.
Akibatnya, parlemen dan eksekutif bukan hanya berpotensi didominasi oleh figur-figur tanpa latar belakang intelektual memadai, tapi juga menjadi ladang subur bagi pragmatisme dan transaksionalisme politik.
Lebih jauh lagi, keputusan ini menunjukkan bahwa upaya reformasi kelembagaan tak bisa hanya mengandalkan jalur hukum.
Diperlukan keberanian politik -- political will -- untuk membenahi sistem rekrutmen pejabat publik agar tidak sekadar demokratis, tapi juga meritokratis.
Kesimpulan
Jika demokrasi hanya dipahami sebagai soal elektabilitas, bukan soal kualitas, maka kita sedang menggiring bangsa ini pada pemiskinan intelektual dalam ruang kekuasaan.
Dan ketika ruang itu dihuni oleh mereka yang tidak memahami kompleksitas persoalan, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas)
Artikel Terkait
Pertemuan Jokowi – Abu Bakar Ba’asyir: Kode Ketakutan Amuk Massa atau Bangun Skenario Baru?
Terbukti Bersalah ke Hotman Paris, Razman Arif Nasution Divonis 1,5 Tahun Penjara
3 Santri Tewas Akibat Bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk, Ada yang Diamputasi
Gubernur Aceh Mualem Jajan Es Krim di Motor Pelat BK, Sindir Gubsu Bobby Nasution?