Tak Lolos Jalur Zonasi PPDB, Siswa dari Keluarga Miskin Terpaksa Daftar ke Sekolah Swasta

- Jumat, 14 Juli 2023 | 16:30 WIB
Tak Lolos Jalur Zonasi PPDB, Siswa dari Keluarga Miskin Terpaksa Daftar ke Sekolah Swasta

POLHUKAM.ID - Perhimpunan Pendidikan dan Guru menyebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2023 kacau balau lantaran adanya berbagai persoalan yang ditemukan di lapangan. Mulai dari manipulasi Kartu Keluarga, jual beli kursi, hingga siswa "titipan" dari pejabat atau tokoh masyarakat.


Salah satu korban kebijakan PPDB adalah Anastasia, siswa SMP di Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.


Yati, ibu Anastasia, bercerita anaknya tidak lolos jalur zonasi lantaran kalah dengan siswa lain yang usianya lebih tua.


Umur Anastasia, ungkapnya, tahun ini 15 tahun dan tiga bulan. Sedangkan sekolah yang dituju anaknya mensyaratkan minimal usia 16 tahun.


"Jadi karena usia nggak lolos, dianggap terlalu muda. Padahal kalau nilai masuk," ujar Yati kepada BBC News Indonesia, Kamis (13/07).


Tapi yang bikin dia tambah kesal adalah soal penentuan zonasi sekolah yang disebutnya "aneh".


Sebab zonasi sekolah yang dituju anaknya yaitu SMA Negeri 91 Jakarta tidak mencakup wilayah tempat tinggalnya.


SMA Negeri 91 Jakarta, sambung Yati, hanya melingkupi RT 1, 2, dan RT 10 di Kelurahan Pondok Kelapa.


Sementara dia menetap di RT 8. Padahal jarak antara RT-nya dengan RT 2 sangat dekat.


"Makanya saya bingung, jaraknya dekat tidak sampai 500 meter kok tidak masuk zonasi," ucapnya kesal.


Ibu empat anak ini mengaku sangat kecewa karena anaknya tak lolos masuk ke sekolah negeri.


Sebab, kalau Anastasia harus ke sekolah swasta bakal memberatkan keluarganya. Pasalnya, ayah Anastasia berprofesi sebagai tukang ojek.


"Saya dari awal pendaftaran sekolah sudah pantau semua jalur zonasi sekolah mulai dari gelombang pertama sampai terakhir. Tapi malah nggak lolos, yah mau tidak mau, daripada anak saya nggak sekolah," keluh Yati.


Di sekolah swasta tempat anaknya sekarang, Yati harus membayar uang pendaftaran atau yang disebut 'uang gedung' sebesar Rp2,7 juta.


Kemudian uang seragam sekolah sekitar Rp700.000. Belum lagi harus membeli Lembar Kerja Siswa (LKS).


Yati dan suaminya bingung bagaimana mendapatkan uang sebesar itu.


"Yah mau gimana lagi. Mahal banget soalnya, tapi demi anak... karena yang diutamakan tadinya sekolah negeri. Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga nggak ada."


"Kalau ditotal jumlahnya hampir Rp4 juta masuk sekolah swasta."


Pengalaman buruk soal zonasi tidak hanya dialami Yati dan anaknya saat mendaftar sekolah menengah atas, tapi juga saat pendaftaran sekolah menengah pertama.


Anastasia, kata Yati, juga terganjal masalah usia kala itu sehingga terpaksa masuk ke SMP Terbuka.


Itulah kenapa dia minta pemerintah agar melihat langsung persoalan di masyarakat dan membenahi sistem zonasi.


"Menyulitkan sistem begini, kasihan anak saya. Pengennya seperti dulu, zonasi dihapus saja."


"Bayangin kalau satu keluarga anaknya banyak dan masuk swasta semua karena nggak lolos zonasi, berapa biayanya? Saya saja anak satu bingung."


Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat 48 sekolah. Dari jumlah itu, sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri.


Di tingkat sekolah dasar, tercatat ada 16 sekolah swasta dan delapan sekolah negeri.


Jenjang sekolah menengah pertama, terdapat 11 sekolah swasta dan tiga sekolah negeri.


Untuk tingkat sekolah menengah atas, ada dua sekolah swasta dan dua sekolah negeri.


Sedangkan jenjang sekolah menengah kejuruan berjumlah enam, yang seluruhnya berstatus swasta.


Nasib serupa juga dialami Yassarah Hasna.


Siswi 12 tahun itu harus mengenyam pendidikan di sekolah swasta setelah gagal seleksi jalur zonasi ke dua SMP Negeri.


Jarak dari rumah ke lokasi SMP negeri pilihan pertama sekitar 1,3 kilometer dan 1,6 kilometer ke SMP negeri pilihan kedua. Sementara passing grade jalur zonasi ke dua SMP negeri tersebut hanya berjarak sekitar 500 meter.


"Saya kecewa banget dengan sistem pendidikan sekarang ini. Anak saya terus saja tergeser dari daftar sampai hilang. Anehnya, di sini banyak yang daftar ke sekolah yang sama dan lolos, padahal rumahnya lebih jauh," ungkap ibunda Yassarah, Yeni Saeni, kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.


Yeni mengaku sempat ditawari seseorang yang mengaku bisa meloloskan anaknya ke SMP negeri tujuan dengan imbalan sejumlah uang. Namun tawaran itu ditolaknya.


"Ada teman saya minta Rp4 juta. Astaghfirullah sampai segitunya sekolah zaman sekarang," ucap Yeni.


Dia berharap seleksi penerimaan siswa di sekolah negeri bisa kembali ke sistem NEM (Nilai EBTANAS Murni) di mana prestasi akademik siswa betul-betul dihargai dan si anak bisa bersekolah di sekolah negeri yang sesuai dengan kemampuan akademisnya.


Apa saja masalah-masalah dalam pelaksanaan PPDB?


Kepala bidang litbang pendidikan di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mengatakan apa yang dialami Anastasia juga terjadi pada keluarga tidak mampu lainnya di banyak daerah.


Mereka -yang disebut sebagai siswa jalur afirmasi- tidak tertampung di sekolah negeri. Padahal tujuan dari kebijakan PPDB sesungguhnya agar anak dari keluarga miskin bisa mengakses sekolah negeri.


Faktor utama mengapa mereka tidak lolos jalur zonasi, menurut Feri, karena ketidakjelasan penyelenggara PPDB yakni dinas pendidikan menentukan zonasi sekolah.


Berdasarkan pantauannya, dinas kerap menggunakan fitus aplikasi peta google maps ketika menetapkan zonasi.


"Ini kan aneh, di lapangan banyak yang mempertanyakan zonasi kok seperti itu?" ujar Feri kepada BBC News Indonesia.


Sementara situasi di lapangan tidak sesederhana itu.


Kebanyakan sekolah-sekolah negeri dan swasta, kata Feri, berada di pusat suatu wilayah atau sebarannya tidak merata. Sedangkan pertumbuhan masyarakat semakin tinggi dan semakin lama semakin ke area pinggiran.


Kalau mau menggunakan sistem zonasi, maka otomatis anak-anak yang tinggal di daerah pinggiran kota tidak bisa mendaftar ke sekolah yang dituju.


Belum lagi semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit pula jumlahnya.


"Jadi sekolah enggak bertambah, sedangkan warga terus bertambah dan akses terhadap tempat tinggal makin ke ujung. Ini kan enggak rasional."


Halaman:

Komentar

Terpopuler