Ketika Hasto Meminta Jokowi Diperiksa, KPK Menghindar: 'Nuansa Politik Yang Kentara'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan publik setelah merespons permintaan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, agar Presiden Joko Widodo diperiksa terkait dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi.
KPK dengan cepat menanggapi dengan pernyataan klise: “Silakan dilaporkan.”
Respons ini sekilas terdengar normatif, tetapi menjadi ironis ketika dibandingkan dengan perlakuan KPK terhadap laporan serupa yang diajukan oleh Ubedilah Badrun, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), serta laporan dari Boyamin Saiman, seorang aktivis dari NGO, yang hingga kini tidak jelas nasibnya.
Ada apa dengan KPK? Apakah benar lembaga ini masih memiliki independensi, atau justru telah menjadi alat politik bagi kepentingan tertentu?
Dua Sikap Berbeda, Satu Institusi
Hasto Kristiyanto bukanlah figur sembarangan dalam kancah politik nasional. Sebagai orang dekat Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDI-P, pernyataannya memiliki bobot politik yang signifikan.
Saat ia meminta KPK untuk memeriksa Jokowi, KPK merespons dengan retorika prosedural bahwa siapa pun bisa melapor.
Namun, respons ini terasa hambar jika melihat bagaimana laporan-laporan sebelumnya tentang dugaan korupsi yang melibatkan lingkaran kekuasaan, termasuk laporan Ubedilah Badrun terkait bisnis anak-anak Jokowi, cenderung diperlakukan dengan sangat lambat atau bahkan diabaikan.
Ubedilah Badrun, seorang akademisi yang berkali-kali melaporkan dugaan tindak korupsi dan pencucian uang yang melibatkan anak Presiden, telah mengalami penolakan berkali-kali dengan dalih “bukti kurang lengkap.”
Sementara itu, laporan TPUA dan laporan dari Boyamin Saiman yang menyangkut berbagai dugaan korupsi besar juga tidak mendapat perhatian serius dari KPK.
Mengapa laporan-laporan ini seolah menguap begitu saja?
Jika benar semua laporan harus melalui prosedur yang sama, mengapa ada yang cepat diproses dan ada yang seolah tak tersentuh?
KPK: Masih Independen atau Sudah Dikooptasi?
Sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019, banyak pihak menilai bahwa lembaga ini telah kehilangan taringnya.
Dahulu, KPK menjadi momok bagi koruptor, tetapi kini kesan yang muncul adalah bahwa lembaga ini lebih memilih menangani kasus-kasus yang tidak bersinggungan dengan kepentingan penguasa.
Bahkan, ada anggapan bahwa KPK kini berfungsi sebagai alat politik untuk menekan lawan dan melindungi kawan.
Kasus-kasus besar yang menyangkut lingkaran kekuasaan sering kali berakhir tanpa kejelasan, sementara kasus yang melibatkan tokoh-tokoh oposisi atau yang tidak berada dalam lingkaran kekuasaan lebih cepat diproses.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah KPK masih berfungsi sebagai lembaga independen, ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo?
Nuansa Politik yang Tak Terbantahkan
Dalam politik, netralitas adalah barang mahal. KPK, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moralitas dalam tata kelola negara, tampaknya semakin kehilangan kepercayaan publik.
Sikapnya yang tebang pilih semakin memperjelas bahwa ada nuansa politik yang kuat dalam setiap keputusan yang diambilnya.
Jika benar KPK masih independen, seharusnya tidak ada diskriminasi dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.
Namun, ketika ada laporan terhadap penguasa yang terus-menerus diabaikan sementara laporan lain cepat diproses, sulit untuk tidak melihat ada kepentingan politik yang bermain.
Pada akhirnya, masyarakat berhak mempertanyakan kredibilitas KPK.
Apakah lembaga ini masih menjalankan fungsinya sebagai pemberantas korupsi, atau justru telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan?
Jika KPK masih memiliki sedikit integritas, sudah saatnya lembaga ini menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada kepentingan politik siapa pun.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur