POLHUKAM.ID - BANYAK orang berkata bahwa kekuasaan bisa mengubah seseorang. Tapi bagaimana jadinya apabila seseorang yang memiliki kekuasaan adalah sosok yang sangat baik, tindak dan tanduknya?
Meskipun tidak semua orang bisa berubah ketika mendapat kekuasaan, namun pada dasarnya sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas. Lantas bagaimana dengan sifat dasar hewan?
Dari ungkapan harta, tahta, dan wanita banyak dari kita yang paham betul bagaimana maksudnya. Namun masih saja, ketika memiliki salah satunya atau bahkan ketiganya, membuat kita menjadi lupa akan bagaimana caranya menjadi manusia.
Tapi, dalam kasus seperti pada cerita Animal Farm milik George Orwel, penulis menggambarkan situasi serupa dengan penempatan hewan sebagai simbolisasinya. Animal Farm adalah kisah legendaris yang mengangkat isu tentang kekuasaan.
Dongeng tentang para penguasa ini merupakan satir yang menggambarkan bagaimana sifat asli manusia dan karakternya ketika memiliki kekuasaan yang besar. Sebagai cerita yang ditulis sejak 17 Agustus 1945 ini, kisahnya terus diceritakan di banyak negara dan bahasa selama lebih dari 70 tahun.
George Orwell menyoroti masalah politik dimana isu seputar kekuasaan, ketidakadilan memang sudah melekat di banyak pemerintahan sejak dahulu kala. Oleh karena itu George Orwell tertarik untuk mengangkat cerita ini dengan menempatkannya pada karakter hewan sebagai satir politik.
Penulis juga mengaku bahwa karyanya ini bertujuan untuk mengkritisi masa pemerintahan Stalin di Uni Soviet, di mana kala itu terlalu otoriter dan diktator. Sehingga George Orwell menyampaikannya melalui kisah Animal Farm ini.
Cerita yang pertama dipublikasikan di Inggris ini merupakan kisah yang ditulis oleh penulis selama Perang Dunia II.
Dilanjutkan, Nineteen Eighty-Four atau 1984, adalah novel fiksi ilmu sosial bertema distopia karya novelis asal Inggris, George Orwell. Buku ini pertama kali terbit pada 8 Juni 1949 dan merupakan buku kesembilan sekaligus buku terakhir yang ia selesaikan sepanjang hayatnya.
Nineteen Eighty-Four berpusat pada tema-tema seputar totalitarianisme, pengintaian massa, dan pengendalian pola pikir dan perilaku dari orang-orang di dalam masyarakat.
Orwell, yang dirinya sendiri adalah seorang sosialis demokrat, memeragakan pemerintahan yang totaliter di dalam novel yang terinspirasi dari Rusia pada era Stalin dan Jerman Nazi.
Dalam cakupan yang lebih luas, novel ini menguji peran dari suatu kebenaran dan fakta di dalam politik serta cara-caranya mereka dimanipulasi.
Didahului sebelumnya oleh Novel Binatangisme
Cerita dari novel ini berada di suatu masa depan imajiner, lebih tepatnya pada tahun 1984, ketika hampir seluruh dunia telah jatuh dalam peperangan tiada akhir.
Britania Raya, yang telah berganti nama menjadi Airstrip One, telah menjadi salah satu provinsi dari adinegara totaliter bernama Oceania yang dipimpin oleh Big Brother atau Bung Besar, seorang pemimpin diktator yang dipuja-puji dengan pengkultusan yang sangat kuat dan direkayasa oleh Polisi Pikiran dan Partai.
Melalui Kementerian Kebenaran, Partai terlibat dalam pengintaian besar-besaran di mana-mana oleh pemerintah, manipulasi sejarah, dan propaganda terus-menerus untuk mempersekusi orang-orang berpola pikir individualis dan independen.
Sang protagonis, Winston Smith, adalah seorang pegawai negeri sipil berpangkat menengah yang rajin bekerja di Kementerian Kebenaran ( menangani berita, hiburan, pendidikan) yang secara diam-diam membenci Partai dan memimpikan pemberontakan.
Ia menulis diary terlarang dan menjalin hubungan terlarang dengan koleganya, Julia, dan mulai mengetahui keberadaan kelompok pemberontak bayangan bernama Persaudaraan.
Namun ternyata, orang-orang Persaudaraan yang berkontak dengan mereka berdua adalah agen Partai, dan Winston dipenjara. Di sana, ia mengalami manipulasi psikologis dan penyiksaan oleh Kementerian Cinta Kasih (menangani hukum dan ketertiban) dan dilepaskan begitu ia telah mencintai Bung Besar. Ada juga Kementerian Perdamaian dan Kementerian Kelimpahan.
Nineteen Eighty-Four telah menjadi literatur klasik yang menjadi acuan fiksi bertema politik dan distopia. Novel ini juga mempopulerkan istilah "Orwellian" sebagai kata sifat, dengan banyak istilah yang digunakan di dalam novel menjadi lazim digunakan, seperti "Big Brother (Bung Besar)", "doublethink (pikir-ganda)", "Polisi Pikiran", "kejahatan pikiran", "Newspeak", "lubang memori", "2 2 = 5", dan "prol".
Majalah Time memasukkan novel ini dalam daftar 100 novel berbahasa Inggris terbaik dari 1923 hingga 2005. Novel ini juga masuk dalam '100 Novel Terbaik' dari Modern Library, berada di peringkat ke-13 pilihan editor dan peringkat ke-6 pilihan pembaca.
Pada 2003, novel ini masuk sebagai nomor delapan dalam survei The Big Read oleh BBC. Banyak orang menarik kemiripan antara isi novel dengan kejadian di dunia nyata terkait dengan misalnya totalitarianisme, pengintaian massa, pembungkaman kebebasan berpendapat, serta sejumlah tema lain.
Buku-buku terbaik, menurutnya adalah buku-buku yang memberi tahu Anda apa yang sudah Anda ketahui. Kedua novel diatas menjadi realitas kekuasaan.
Dunia nyata kita mengenal Demokrasi dan oligarki sebagai distribusi jenis yang sangat berbeda. Demokrasi mengacu pada kekuasaan politik formal yang tersebar berdasarkan hak, prosedur, dan tingkat partisipasi rakyat.
Oligarki didefinisikan sebagai kekuasaan material yang terkonsentrasi berdasarkan kekayaan. Karenanya ranah demokrasi dan ranah oligarki sangat kompatibel jika tidak ada benturan.
Jika diurai maka setiap anggota masyarakat memiliki kuantum kekuasaan dari hampir nol, hingga sangat besar.
Dimulai dari hak politik formal, jabatan resmi, kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material sebagai basis oligarki (material power) dan disebut sebagai politik "elite".
Kembali Orwell, melukiskan, bahwa selalu, di setiap saat ada sensasi kemenangan, sensasi musuh yang tidak berdaya. Sensasi akan selamanya. Wajah itu selalu ada yang akan diinjak karena kalah.
Big Brother (Bung Besar) selalu mengawasi dengan kekuasaannya. Polisi Pikiran & Partai ikut memonitor. Kebebasan adalah perbudakan. Mati dengan membenci mereka, itulah kebebasan.
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf terkemuka dari Prancis, menjadi salah satu tokoh sentral dalam aliran filsafat eksistensialisme yang sangat mempengaruhi pemikiran abad ke-20. Ia sering mengungkapkan ide-ide yang menggugah dan menantang cara pandang kita terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup.
Salah satu kutipannya yang sangat terkenal adalah: “Kebebasan bukan berarti bisa berbuat sesuka hati, melainkan kemampuan untuk memilih secara sadar."
Pilihan kita secara sadar ada pada ranah Demokrasi bukan pada ranah Otoriter ataupun Oligarki yang selalu memasung kebebasan.
Artikel Terkait
Polisi Buru Pelaku Penyanderaan Anggota Intel saat Aksi May Day di Semarang
Bukan Cuma Anak Nakal, Dedi Mulyadi Bakal Kirim Siswa Gemulai ke Barak Militer
TERBONGKAR! Prabowo Marah Besar Pergantian Letjen Kunto (Anak Try Sutrisno) Atas Perintah Geng Solo
Sempat Duel Sengit di Tanah Abang, Inilah Sosok yang Paling Ditakuti Hercules di Jakarta