Gibran dan Kebohongan Publik: Ketika Putusan Konstitusi Tak Lagi Sakral

- Sabtu, 03 Mei 2025 | 13:00 WIB
Gibran dan Kebohongan Publik: Ketika Putusan Konstitusi Tak Lagi Sakral


Gibran dan Kebohongan Publik: 'Ketika Putusan Konstitusi Tak Lagi Sakral'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Lima jenderal bintang empat, puluhan laksamana, marsekal, dan perwira tinggi TNI lainnya menandatangani petisi. 


Mereka bukan hendak perang, tapi menyatakan keprihatinan atas kemunduran moral demokrasi. Pusat dari kegelisahan ini: Gibran Rakabuming Raka.


Tak perlu menyelesaikan pendidikan menengah di Indonesia. Tak harus melewati proses seleksi partai secara terbuka. 


Cukup jadi anak presiden dan dibukakan jalan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Itulah yang dialami Gibran. 


Sejak putusan itu diketok oleh MK, dengan Ketua-nya—Anwar Usman—adalah paman sekaligus ipar Presiden Jokowi, polemik tak berhenti bergulir. Kini, puluhan jenderal angkat bicara.


Ada Jenderal Sudarto. Ada Slamet Sugianto. Ada Hanafi dari Angkatan Udara. Bahkan ada nama besar Try Sutrisno, Jenderal paling senior saat ini, kelahiran 1935. Mereka tak sedang bermain-main. 


Tanda tangan para jenderal ini adalah suara nyaring dari barak, mengabarkan bahwa bangsa ini sedang tergelincir dalam kegelapan etika konstitusi.


Apa yang mereka kritik? Bukan sekadar putusan MK yang memberi karpet merah kepada Gibran. Tapi cara putusan itu dibuat. 


Intervensi, kongkalikong, dan pembiaran pelanggaran etik menjadi catatan hitam yang tak bisa dihapus dengan tinta kekuasaan.


Kebohongan Publik:


Lalu, muncul pertanyaan penting: apakah Gibran melakukan kebohongan publik? Dalam perspektif hukum positif, mungkin belum ada pembuktian yang sahih. Tapi secara moral publik, jawabannya jelas. 


Ketika ia menerima putusan MK dan mencalonkan diri, seolah tidak terjadi apa-apa, padahal semua tahu, jalan itu dilicinkan oleh tangan kekuasaan. 


Ketika ia mengatakan “ini bukan rekayasa”, padahal pamannya sendiri diputus melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka publik tidak melihat kejujuran, tapi manipulasi.


Dalam logika demokrasi, ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini soal integritas. Jika proses awal cacat, maka hasilnya cacat pula. 


Gibran, secara sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari konspirasi hukum—yang oleh banyak pihak bisa dikategorikan sebagai perbuatan tercela. 


Bila kelak ada investigasi independen, dan terbukti ia menerima manfaat dari pelanggaran etik, maka tak berlebihan bila posisinya sebagai wakil presiden digugat keabsahannya.


Pos Faktum dan Prospektif:


Debat tentang Gibran berada dalam dua ranah: pos faktum dan prospektif. Pos faktum—kejadian telah berlalu, tak bisa diubah. 


Tapi dalam ranah prospektif, yaitu masa depan, kita masih bisa mencegah pembusukan lebih jauh. Dan ini yang harus terus diupayakan. 


Perlu tekanan publik, penegakan etika, dan keberanian membongkar kebusukan yang menyaru dalam jubah konstitusi.


Pertanyaannya kini sederhana tapi tajam: jika seorang jenderal bisa digugat karena menyalahgunakan kewenangan, mengapa tidak dengan seorang wakil presiden—yang naik tahta dengan prosedur yang cacat? Atau apakah jabatan sekarang lebih tinggi daripada harga diri bangsa?


Penutup:


Apa yang ditandatangani para jenderal bukan sekadar surat keprihatinan. Itu adalah peringatan keras dari generasi pejuang bangsa bahwa demokrasi sedang dirampok di siang bolong. 


Dan nama Gibran, dengan segala keterlibatannya dalam proses ini, akan selamanya tercatat dalam lembar gelap sejarah itu.


Kalau bangsa ini masih punya keberanian untuk menyebut yang benar itu benar dan yang salah itu salah, maka kelak, jabatan Gibran harus ditimbang ulang. Bukan oleh politik, tapi oleh nurani hukum dan sejarah.


Berikut adalah kutipan langsung dari pernyataan Forum Purnawirawan TNI yang menuntut pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka:


“Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.”


Pernyataan ini dibacakan oleh Mayjen (Purn) TNI Sunarko dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh senior TNI, termasuk Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, serta Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.


Sebagai tambahan, pakar hukum tata negara Feri Amsari menyatakan bahwa purnawirawan TNI-Polri yang ingin mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya semestinya menempuh jalur konstitusional melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 


Menurutnya, usul pemakzulan dapat dijalankan setelah mengantongi dukungan dari 2/3 jumlah anggota DPR atau sekitar 387 orang. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar