MISTERI Map Cokelat Jokowi: Ngaku Isi Ijazah Tapi Dilipat-Lipat?
Seperti sulap yang datang terlambat ke panggung, Presiden Ke 7 – Joko Widodo akhirnya muncul juga membawa ijazahnya—dokumen yang selama ini dipertanyakan sebagian publik.
Bukan di sidang Mahkamah Konstitusi, bukan lewat forum terbuka yang menghargai akuntabilitas, melainkan saat ia melaporkan seseorang ke Polda Metro Jaya.
Di tangan kirinya, tergenggam sebuah map kertas tipis berwarna kuning, tampak seperti barang murah yang biasa ditemukan di toko alat tulis dekat stasiun. Di dalamnya, katanya, tersimpan ijazah-ijazah asli miliknya.
Sebuah momen yang ironis. Seorang presiden yang dua kali terpilih, mantan walikota dan gubernur, merasa perlu membuktikan keabsahan masa lalunya di hadapan aparat penegak hukum. Dan ia melakukannya dengan selembar map kertas seadanya.
Bagi publik yang kritis, adegan ini bukan penyelesaian, melainkan potret buram dari sebuah krisis kepercayaan yang tak kunjung dipulihkan.
Map kertas berwarna kuning itu kini menjadi simbol dari satu pertanyaan besar yang terus menggema di ruang-ruang percakapan warga: mengapa baru sekarang?
Di negara yang normal, ijazah adalah dokumen sakral yang selalu disimpan dan dihormati, bukan sesuatu yang dibawa secara kasual ketika seseorang hendak melaporkan orang lain. Terlebih jika orang itu adalah presiden.
Dan di sanalah ironi itu mencapai puncaknya. Map kuning kertas itu menjadi saksi bisu—bahwa ijazah, bagi Jokowi, barangkali memang tidak ada nilainya.
Ia tak memperlakukannya sebagai simbol prestasi akademik, melainkan hanya sebagai alat serangan balik, bukti defensif dalam perkara hukum yang personal.
Bukan kehormatan, bukan kebanggaan, hanya formalitas yang dibawa seperti kertas-kertas tak penting.
Padahal, di negeri ini, ijazah bukan sekadar lembaran kertas. Ia adalah pengakuan atas perjalanan intelektual, legitimasi atas narasi hidup yang tertib dan transparan.
Maka wajar jika rakyat bertanya: kalau ijazah saja dianggap enteng, bagaimana dengan amanah konstitusi?
Di titik ini, publik tak sekadar mempertanyakan keabsahan selembar dokumen, tapi lebih dalam: integritas dan transparansi seorang pemimpin.
Dalam politik, persepsi bisa lebih tajam daripada realitas. Dan dalam kasus Jokowi, persepsi bahwa ia menyembunyikan sesuatu sudah telanjur mengakar, dipupuk oleh ketidaktegasan dan diam panjang selama bertahun-tahun.
Alih-alih menampilkan proses yang kredibel dan diverifikasi oleh lembaga akademik yang berwenang, Jokowi memilih jalur emosional dan personal—melaporkan penggugatnya ke polisi sambil membawa map kuning, seolah ingin berkata, “Ini buktinya.”
Tapi publik yang telanjur jenuh dan sinis justru membaca lain: seorang presiden yang frustrasi oleh keraguan, namun tak ingin menjawabnya dengan cara yang meyakinkan.
Map kertas berwarna kuning itu, yang dalam narasi kekuasaan bisa saja dimaksudkan sebagai penutup cerita, justru menjadi pembuka bab baru: tentang seorang pemimpin yang tak ingin menjelaskan, hanya ingin memukul balik. Dan dalam demokrasi, cara seperti itu tak akan pernah cukup.
Apalagi di negeri ini, kepercayaan publik bukan sesuatu yang otomatis datang bersama jabatan.
Ia harus dirawat, dijaga, dan dibuktikan—bukan dengan selembar map kuning yang datang lima tahun terlambat, melainkan dengan konsistensi, ketulusan, dan kejujuran sejak awal.
Kini, rakyat bisa bertanya lebih tajam: kalau ijazah saja bisa dibawa begitu seadanya, bagaimana dengan dokumen lain yang lebih menentukan masa depan bangsa? Dan kalau kepercayaan saja dianggap remeh, untuk apa kita bicara soal legitimasi?
Map kuning itu telah mencatatkan dirinya dalam sejarah, bukan sebagai bukti, tapi sebagai simbol: bahwa dalam kekuasaan yang gemerlap, transparansi bisa terselip dalam lipatan kertas murahan. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
TERUNGKAP! Sebenarnya Ada 9 Poin Tuntutan Purnawirawan TNI, Poin Adili Jokowi Dihilangkan Karena....
KISAH Ucu Kambing, Panglima Perang Betawi Yang Bikin Hercules Mikir Seribu Kali Untuk Cari Masalah Dengannya
Viral World App, Bikin Orang Ramai-ramai Scan Retina Mata demi Imbalan Rp 200 Ribu-Rp 800 Ribu
Viral Peresmian GRIB Bali Berlatar Belakang Bendera Gerindra