Oleh I. Sandyawan Sumardi, Pekerja Kemanusiaan
TANTANGAN: GURITA KAPITALISME
Menurut hemat saya, siapapun yang bakal terpilih jadi presiden dalam Pemilu 2024 yang akan datang, pasti bakal menghadapi tantangan nyata ini..
Dalam sistem kekuasaan negara demokrasi yang paling moderat berdasarkan fakta “polycentres of power”, kekuasaan bisnis ekonomi, kekuasaan birokrasi pemerintah, kekuasaan polisi-militer, kekuasaan teknologi, kekuasaan lembaga-lembaga agama, kekuasaan organisasi masyarakat sipil, dlsb., semestinya berjalan seiring saling bekerjasama, melengkapi dan menghidupi secara setara, “symbiose mutualistic”, dalam rangka menyelenggarakan, mengatur kondisi hidup bersama Indonesia sebagai “res publica”.
Namun dalam kenyataannya dewasa ini, Indonesia semakin menganut sistem kekuasaan neo-liberalisme. Kekuasaan bisnis ekonomi yang berorientasi pada investasi dan akumulasi modal, pada kenyataannya telah menyadera dan menguasai kekuasaan birokrasi pemerintah, kekuasaan polisi-militer, kekuasaan teknologi, kekuasaan lembaga-lembaga agama, kekuasaan organisasi masyarakat sipil, dlsb., sehingga de facto, kekuasaan bisnis ekonomilah yang sebenarnya paling mengendalikan kehidupan bersama kita sebagai negara bangsa.
Bukan anti terhadap investasi dan akumulasi modal, melainkan pengutamaan yang menegasi sendi-sendi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sangat mungkin justru bakal mempercepat ambruknya kehidupan masyarakat yang tengah didera pandemi dan krisis ekonomi global akibat ancaman perang, dlsb., dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam sistem neoliberlisme, prinsip yang menentukan itu uang, bukan kehidupan. Menggunakan uang untuk mendapatkan uang bagi yang punya uang. Bukan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Maka tak heran kalau perusahaan-perusahaan bisnis di negeri kita dewasa ini cenderung dibuat besar, sangat besar.
Meskipun sebagai janji pemanis dalam kampanye UU Omnibus Law, dikatakan mendukung koperasi dan UMKM yang berskala kecil-kecil. Segala biaya bisnis ekonomi ditanggung oleh publik, bukan oleh pengguna, penerima manfaat. Kepemilikan bersifat impersonal, “obsentee” (guntai), bukan personal, “rooted” (berakar). “Financial Capital” bersifat global tanpa batas, bukan lagi lokal/nasional dengan batas-batas yang jelas.
Adapun tujuan investasi jelas: memaksimalkan keuntungan pribadi. Bukan meningkatkan hasil yang bermanfaat. Maka prinsipnya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, “profit”, bukan memperoleh manfaat sebesar-besarnya, “benefit”.
Demikian pula dengan mekanisme pengaturan bisnis ekonomi, segalanya harus direncanakan secara sentral oleh mega korporasi. Peluang dan ruang lingkup pasar-pasar serta jaringan untuk mengorganisir diri secara otonom, sangat kecil.
Dalam kapitalisme, kompetisi selalu ada. Namun tujuan kompetisi lebih untuk mengeliminasi yang dianggap tidak sehat, tidak menguntungkan korporasi. Tujuan kompetisi untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi lebih merupakan strategi kampanye saja.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau dalam sistem UU Omnibus Law, peranan pemerintah lebih untuk melindungi kepentingan property/aset, para pemilik modal, ketimbang untuk memajukan kepentingan manusiawi warga masyarakatnya. Itulah sebabnya dalam sistem neoliberalisme ini, pendekatannya lebih elitis. Demokrasi uang. Bukan pendekatan demokrasi pribadi-pribadi manusia dan lingkungan alam sekitarnya.
TUJUH STRATEGI KEBIJAKAN UTAMA
Menurut hemat saya ada tujuh (7) strategi kebijakan utama menghadapi masa depan di mana kita sebagai warga Indonesia dipanggil untuk terlibat secara proaktif dalam mewujudnyatakan visi Pancasila di bidang politik, ekonomi dan lingkungan hidup secara bersama, sebagai prasyarakat bagi bangsa dan negara kita untuk dapat bergerak maju ke depan, justru setelah kita digempur oleh krisis akibat wabah pandemi Covid-19 selama 2 tahun dan krisis politik ekonomi serta lingkungan hidup di dalam negeri yang kian mengkhawatirkan, sekaligus juga krisis akibat dampak ancaman kemungkinan perang global dunia ke-3:
(1). Menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada redistribusi. Redistribusi adalah pendistribusian kembali pendapatan masyrakat, utamanya dari kelompok kaya kepada kelompok masyarakat miskin, baik yang berasal dari pajak maupun pungutan-pungutan lain. Redistribusi pendapatan menjadi salah satu cara pemerintah untuk meratakan pembangunan.
Kebijakan pajak yang lebih tegas utamanya mendorong pajak progresif penghasilan, pajak keuntungan dan pajak kekayaan. Mengurangi jam kerja dan beban kerja seraya memperhatikan kualitas pelayanan publik kepada pekerja seperti kesehatan dan pendidikan untuk mendukung nilai intrinsik mereka sebagai manusia bukan hanya sebagai alat produksi belaka.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid