Sederet Opsi Rekayasa Konstitusional Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

- Minggu, 06 Juli 2025 | 14:45 WIB
Sederet Opsi Rekayasa Konstitusional Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

"Ibarat masa jabatan anggota DPR dan DPRD pernah dipotong pun mereka mau, masa diperpanjang masa jabatannya justru menolak," kata Khoirunnisa.


Tidak Ada Ruang Menolak


Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, pun mengingatkan bahwa putusan MK final dan mengikat.


”DPR, pemerintah, serta partai-partai politik tidak punya ruang untuk menolak putusan MK tersebut karena bersifat final dan mengikat. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus segera melakukan rekayasa konstitusional demi memastikan sistem pemilu yang baru berjalan efektif, efisien, dan tetap demokratis," ujarnya.


Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, setidaknya ada dua langkah yang bisa diambil MPR, DPR, dan Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut.


Pertama, MPR dapat melakukan amendemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. 


Amendemen dibutuhkan apabila pembentuk undang-undang merasa membutuhkan payung hukum konstitusional yang lebih tegas dalam memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.


"Amendemen ini tidak harus mengubah banyak hal, tetapi cukup menyesuaikan norma-norma pasal terkait kedaulatan rakyat, sistem pemilu, dan masa jabatan," tuturnya.


Langkah kedua, DPR dan Pemerintah merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. 


Revisi ini antara lain akan mengatur kembali jadwal pemungutan suara pemilu lokal dan nasional serta masa transisi antara berakhirnya masa jabatan DPRD dan kepala daerah hasil Pilkada 2024.


Ia melanjutkan, opsi untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah akan menjadi tantangan tersendiri bagi pembentuk undang-undang. 


Namun, rekayasa konstitusional untuk mengisi masa transisi bukan hal baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. 


Ketika penyerentakan Pilkada Serentak 2024, kekosongan jabatan kepala daerah diisi oleh penjabat.


"Prinsip dasarnya adalah tidak boleh ada pihak yang dirugikan, baik dari sisi hak politik warga negara, kepastian hukum bagi penyelenggara dan peserta pemilu, maupun keberlanjutan roda pemerintahan. Maka, dalam proses perumusan ulang desain pemilu ini, DPR dan pemerintah dituntut untuk bekerja cepat, terbuka, dan partisipatif, agar hasilnya tidak menjadi sumber konflik baru ke depan," ucapnya.


Putusan MK ini pun dinilainya menjadi momentum penting untuk mengevaluasi kembali sistem pemilu yang terlalu padat dan kompleks.


"Di sinilah pentingnya komitmen politik nasional yang solid. Karena bagaimanapun, demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang merancang sistem yang adil, masuk akal, dan memberi ruang bagi rakyat untuk benar-benar berdaulat," kata Bambang.


Resistensi dari Parpol


Sebelumnya, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menuai penolakan dari sejumlah partai politik. 


Partai Nasdem menilai, putusan tersebut problematis, melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, dan berpotensi menimbulkan krisis ketatanegaraan.


Dalam pernyataan sikap DPP Partai Nasdem yang dibacakan anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, pemisahan pemilu presiden, DPR, DPD, kepala daerah, dan DPRD yang dilakukan MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945. 


Oleh karena itu, Nasdem melihat bahwa putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional.


”Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022 sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” kata Lestari, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR.


Sementara Ketua Badan Legislasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Zainudin Paru mengatakan, putusan tersebut secara substansi telah melanggar amanat Pasal 22E UUD 1945 yang menegaskan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 


Putusan MK, yang berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilihan, dianggap sebagai tindakan inkonstitusional.


Setelah MK membacakan putusannya, DPR mulai mendiskusikannya. 


Namun, alih-alih Komisi II DPR yang membidangi urusan kepemiluan yang membahasnya, justru Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum yang membahas Putusan MK tersebut. 


Mereka menggelar rapat dengar pendapat umum dengan mengundang sejumlah akademisi dan praktisi hukum, yakni Taufik Basari, Patrialis Akbar, dan Valina Singka Subekti.


Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjelaskan, rapat digelar karena putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal telah menimbulkan polemik di masyarakat. 


Karena itu, Komisi III merasa perlu mendengarkan pandangan para akademisi dan praktisi hukum terkait dengan putusan MK tersebut.


”Menanggapi berbagai polemik atas putusan MK sekaligus menjalankan fungsi pengawasan terhadap mitra kerja kami, maka dalam kesempatan ini Komisi III DPR ingin mendengarkan pandangan dan masukan dari para ahli akademisi dan praktisi hukum,” kata Habiburokhman di awal rapat.


Sumber: Kompas

Halaman:

Komentar