Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!

- Senin, 21 Juli 2025 | 16:40 WIB
Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!




POLHUKAM.ID - Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong masih menjadi perhatian luas dari masyarakat.


Meski telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, sejumlah ahli hukum menilai ada banyak aspek yang belum diulas secara menyeluruh dalam proses penegakan hukumnya.


Salah satu kritik datang dari pengamat hukum dan pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho.


Ia menilai, kerugian negara dalam kasus ini seharusnya dipaparkan lebih rinci dengan pendekatan yang konkret, bukan hanya berdasarkan kutipan teori atau doktrin hukum.


Menurutnya, hal ini penting agar proses hukum berjalan sesuai asas keadilan dan bukan hanya formalitas semata.


Kerugian negara dalam kasus impor gula 2015–2016 yang menjerat Tom Lembong memang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta sebesar Rp194,72 miliar.


Angka ini lebih rendah dibanding dakwaan awal jaksa penuntut umum yang menyebut kerugian mencapai Rp578,1 miliar.


Hakim menyebut kerugian tersebut merupakan potensi keuntungan yang gagal diperoleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang merupakan bagian dari holding BUMN pangan ID Food.


Namun menurut Hardjuno, penetapan nominal itu masih terkesan umum dan perlu perincian berbasis data aktual, terutama mengingat kaitannya langsung dengan keuangan negara.


Ia juga menyoroti penggunaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2014 sebagai dasar argumentasi bahwa keuangan BUMN termasuk keuangan negara.


Meski putusan itu sah, menurutnya tidak cukup kuat jika dijadikan satu-satunya landasan menjerat individu secara pidana tanpa bukti lain yang lebih spesifik.


Selain itu, Hardjuno mengkritisi aspek pembuktian unsur mens rea atau niat jahat dari Tom Lembong.


Ia menilai pengadilan belum menjelaskan secara meyakinkan mengenai adanya niat buruk dalam tindakan sang mantan menteri.


Padahal, dalam hukum pidana modern, ada dua unsur penting yang harus dibuktikan dalam sebuah kasus: actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat).


Kalau unsur niat ini tidak terbukti secara jelas, maka pondasi untuk menjatuhkan pidana menjadi lemah dan berisiko menimbulkan preseden buruk.


Hardjuno juga menekankan bahwa diskresi atau kebijakan yang diambil seorang pejabat negara tidak serta-merta dapat dianggap sebagai tindak pidana.


Dalam konteks ini, keputusan Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor gula kepada 10 perusahaan memang tanpa rapat koordinasi dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tetapi bisa jadi masuk dalam kategori kesalahan administratif, bukan pidana.


Karena itu, ia mendorong lembaga hukum agar lebih berhati-hati dalam membedakan antara kekeliruan administratif dan tindak pidana korupsi.


Pemahaman yang keliru soal hal ini bisa membuat hukum menyimpang dari prinsip keadilan dan justru mencederai kepercayaan publik.


Dalam sidang putusan yang digelar Jumat (18/7), Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.


Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Tindak pidana itu berkaitan dengan penerbitan surat persetujuan impor gula tanpa dasar koordinasi lintas kementerian.


Namun vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntut hukuman 7 tahun penjara.


Meski begitu, denda yang dijatuhkan tetap sama seperti tuntutan, yaitu Rp750 juta.


Kasus ini menyisakan banyak pertanyaan, terutama soal bagaimana aparat penegak hukum menentukan batas antara pelanggaran administratif dan kejahatan korupsi.


Kritik dari pengamat seperti Hardjuno menjadi penting sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki sistem hukum ke depan agar lebih adil, transparan, dan berbasis bukti yang kuat.


Sumber: HukamaNews

Komentar