Pakar Paparkan Dua Kesalahan Fatal BPKP Dalam Audit Kasus Tom Lembong

- Selasa, 22 Juli 2025 | 16:50 WIB
Pakar Paparkan Dua Kesalahan Fatal BPKP Dalam Audit Kasus Tom Lembong




POLHUKAM.ID - Dosen dan Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison memaparkan dua kesalahan fatal Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus Tom Lembong.


“Menurut saya ada dua kesalahan fatal. Kesalahan fatal pertama adalah kelebihan bayar, yaitu HPP. Itu tidak dipahami oleh auditor BPKP bahwa yang HPP itu adalah harga minimum untuk pembelian dari petani,” kata Adrison dikutip dari video yang diunggah Instagram @hukum.perubahan, Selasa (22/7/2025).


Ketika pabrik membeli, kata dia, akan ada biaya produksi karena profit margin. 


Sehingga tidak mungkin yang dijual itu akan sama dengan harga pembelian. Harga HPP.


“Jadi petani tebu tidak terserap produknya, kemudian tidak ada aktivitas produksi, artinya tidak ada pajak yang dikumpulkan, dan kelangkaan produk mengakibatkan harga mahal. Itu yang poin pertama. Jadi sangat salah dalam mengartikan HPP,” jelasnya.


Selain itu, ia menjelaskan pada dasarnya ada dua kerugian dalam bea cukai.


“Kedua, kerugian dalam bea cukai itu ada dua. Yaitu misklasifikasi dan under invoicing,” terangnya.


Misklasifkasi, kata dia, mengimpor barang A yang tarifnya lebih tinggi terus kemudian report barang B yang lebih rendah. 


Atau saya mengimpor Rp10 M saya declare Rp5 M. Nah itu under invoicing.


“Dalam kasus ini itu tidak terjadi, yang diimpor adalah gula kristal mentah. Dan faktanya adalah gula kritstal mentah,” ucapnya.


“Jadi ketika ditetapkan kerugian negara berdasarkan keuntungan perhitungan. Harusnya, adalah tarif GKP,” tambahnya.


Apakah audit itu dipaksakan, ia mengungkapkan belum pernah melihat kesalahan fatal demikian.


“Jujur, belum pernah saya melihat kesalahan fatal yang besar seperti ini,” ucapnya.


“Jujur iya sangat dipaksakan. Karena ada casenya. Karena apa. Loh, faktanya memang diimpor oleh GKM,” sambungnya.


Ia menjelaskan, faktanya itu diimpor GKM, dan Bea Cukai melihat bahwa ini adalah GKM. 


Mereka tidak boleh menetapkan hal tersebut menjadi GKP.


“Tidak boleh. Harus sesuai dengan barang. Fakta bahwa barang itu sudah dirilis dan diimpor, itu artinya sudah aman. Jika tuntutan ini dikabulkan, maka implikasinya luar biasa,” jelasnya.


“Maka dengan argumentasi yang BPKP, kita mengimpor lebih mahal, yang lebih tinggi tarifnya itu akan menguntungkan keuangan negara. Maka implikasinya adalah tutup seluruh industri di Indonesia,” sambungnya. 


Sumber: Fajar

Komentar