KPK Disarankan Gunakan Pasal Suap dan Pemerasan Jerat Eks Menag Yakut di Kasus Kuota Haji

- Rabu, 24 September 2025 | 18:35 WIB
KPK Disarankan Gunakan Pasal Suap dan Pemerasan Jerat Eks Menag Yakut di Kasus Kuota Haji


POLHUKAM.ID -
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih "bingung" dalam mengonfirmasi unsur pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) yang tepat. Hal ini dinilai menjadi alasan KPK belum mengumumkan eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (YCQ) sebagai tersangka dalam praktik pembagian kuota haji untuk penyelenggaraan haji 2023–2024 di Kemenag, sekaligus belum memaparkan konstruksi perkaranya.

"Ya mungkin KPK masih 'bingung' mengkonstruksi pasal yang tepat," kata Chairul Huda ketika dihubungi Inilah.com, Rabu (24/9/2025).

Menurut Chairul, penerapan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp1 triliun, hanya sekadar isapan jempol.

"Semula di media disebut-sebut ada kerugian negara hingga 1 T, sepertinya ini isapan jempol," ucap Chairul.

Ia menegaskan, hal itu tidak diperkuat bukti dokumen dari lembaga audit negara seperti BPK maupun BPKP.

"Makanya APH kalau menerapkan pasal 2 dan 3 UU Tipikor itu harusnya berpangkal tolak pada audit keuangan negara," jelasnya.

Menurut Chairul, pasal yang lebih sesuai untuk disangkakan kepada eks Menag Yaqut dan pihak terkait adalah pasal suap atau pemerasan.

"Konstruksi pasal yang bisa paling better antara penyuapan dan pemerasan," katanya.

Sebelumnya, dari pernyataan Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu hingga juru bicara KPK Budi Prasetyo, lembaga antirasuah itu belum juga mengumumkan tersangka kasus kuota haji hingga saat ini dan terus mengumbar janji.

Beredar kabar di kalangan wartawan bahwa KPK sempat merencanakan pengumuman tersangka pada Kamis (18/9/2025). Isu yang beredar menyebut eks Menteri Agama Yaqut akan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, rencana itu batal diduga karena adanya intervensi istana.

Menanggapi kabar tersebut, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengaku belum memiliki bukti. Pria yang dikenal sebagai "Detektif Partikelir" itu berkomitmen menelusuri kebenaran isu intervensi.

"Saya belum punya buktinya intervensi tersebut. Jika ada maka sangat disayangkan. Saya akan melacaknya," tegas Boyamin, Selasa (23/9/2025).

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto membantah isu penundaan penetapan tersangka kasus dugaan korupsi kuota haji karena intervensi istana.

"Tidak ada. KPK murni penegakan hukum," kata Fitroh saat dikonfirmasi wartawan, Sabtu (20/9/2025).

Ia menekankan, penetapan tersangka sepenuhnya didasarkan pada aspek hukum dengan dukungan dua alat bukti yang cukup.

"Penetapan tersangka tentu didasarkan pada kecukupan alat bukti dan hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi kuota haji," ujarnya.

Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kemenag telah naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025), berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum, meski belum ada penetapan tersangka. KPK memastikan segera mengumumkan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan lebih dari Rp1 triliun.

Kasus ini berawal dari tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia, hasil pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi pada 2023. Kuota tambahan itu kemudian dilobi sejumlah pengusaha travel kepada oknum pejabat Kemenag, hingga terbit SK Menag tertanggal 15 Januari 2024 yang membagi kuota tambahan secara merata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Dari kuota khusus, sebanyak 9.222 dialokasikan untuk jemaah dan 778 untuk petugas, dengan pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta. KPK menyebut terdapat 13 asosiasi dan 400 biro travel yang terlibat. Sementara kuota reguler 10.000 jemaah didistribusikan ke 34 provinsi, dengan Jawa Timur mendapat porsi terbanyak (2.118 jemaah), disusul Jawa Tengah (1.682), dan Jawa Barat (1.478).

Namun, pembagian tersebut diduga melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur komposisi 92 persen kuota reguler dan 8 persen kuota khusus.

Setelah itu muncul praktik jual beli kuota haji khusus dengan setoran perusahaan travel kepada pejabat Kemenag sebesar USD 2.600–7.000 per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta–Rp113 juta dengan kurs Rp16.144,45. Transaksi dilakukan melalui asosiasi travel sebelum diserahkan ke pejabat Kemenag secara berjenjang.

Dana tersebut berasal dari penjualan tiket haji dengan harga tinggi kepada calon jemaah dengan janji bisa berangkat pada tahun yang sama, khususnya 2024. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler yang telah menunggu bertahun-tahun gagal berangkat karena kuotanya terpotong.

Hasil dugaan korupsi itu juga mengalir untuk pembelian aset, termasuk dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang disita KPK pada Senin (8/9/2025). Rumah tersebut diduga dibeli seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag menggunakan uang setoran dari pengusaha travel sebagai komitmen pembagian kuota tambahan haji yang melanggar aturan.

Sumber: inilah

Komentar