Putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, namun eksekusi belum juga dilakukan hingga kini.
Kondisi ini menimbulkan kritik keras terhadap aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan. Beberapa pihak menilai lembaga tersebut tidak serius menegakkan putusan pengadilan.
Bahkan, muncul gugatan hukum dari warga Jember yang menuntut Jaksa Agung bertanggung jawab atas kelalaian menangkap Silfester.
Tak sedikit pula suara publik di media sosial yang menyindir lemahnya penegakan hukum.
Ada yang menyebut negara “diledek” oleh seorang terpidana, lantaran proses penangkapan begitu lambat.
Kasus Silfester memperlihatkan persoalan klasik dalam eksekusi putusan pengadilan di Indonesia: vonis ada, tetapi implementasi sering berlarut.
Kondisi ini berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum.
Di sisi lain, Silfester yang tetap beraktivitas di dalam negeri bisa menjadi bukti bahwa aparat punya ruang besar untuk segera menuntaskan eksekusi.
Kejelasan tindakan hukum akan menjadi penentu apakah kasus ini akan selesai secara elegan atau justru menjadi preseden buruk bagi wibawa hukum.
Publik kini menanti langkah tegas Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Selama Silfester Matutina masih bebas berkegiatan, termasuk sering ke Solo, pertanyaan tentang komitmen penegakan hukum di Indonesia akan terus bergema.
Jika eksekusi bisa segera dilakukan, kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum bisa pulih.
Namun jika terus berlarut, kasus ini hanya akan memperpanjang daftar ironi hukum di negeri ini.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
OTT KPK Gagalkan Gubernur Riau Kabur, Ini Identitas dan Modus yang Bikin Heboh
BREAKING: KPK Umumkan Nasib Gubernur Riau Abdul Wahid Pagi Ini! Ini Fakta OTT dan Uang Sitaan Rp1 Miliar+
Ustadz Abdul Somad Beri Dukungan Usai Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK, Ini Pesan Hadistnya
OTT KPK! Harta Fantastis Gubernur Riau Abdul Wahid Tembus Rp4,8 Miliar, Ini Rinciannya