Secara hukum berdasarkan UUD 1945, mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden diatur secara ketat melalui jalur konstitusional.
Secara prosedural, desakan politik seperti petisi ini memang menjadi tekanan moral, namun tetap harus melewati mekanisme formal.
Pertama-tama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mengusulkan pemberhentian, dengan syarat mendapat dukungan minimal 2/3 dari anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang memenuhi kuorum.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) wajib menguji apakah Wakil Presiden telah melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara.
Jika MK memutuskan demikian, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemudian akan bersidang untuk memberhentikan Wakil Presiden secara resmi.
Meskipun begitu, meski desakan dari 103 purnawirawan ini cukup kuat secara simbolik, realisasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Proses politik di DPR sangat bergantung pada kekuatan partai-partai politik, yang hingga saat ini masih solid mendukung pemerintahan.
Di sisi lain, tanpa dukungan besar dari partai-partai utama di DPR, usulan pemberhentian Gibran kemungkinan besar akan berhenti di tahap awal.
Pada akhirnya, desakan dari para purnawirawan TNI mencerminkan adanya dinamika baru dalam politik nasional.
Namun, perlu disadari bahwa pemberhentian seorang Wakil Presiden seperti Gibran Rakabuming Raka memerlukan proses panjang dan dukungan politik yang sangat besar.
Dengan kondisi saat ini, peluang pencopotan Gibran tetap ada, tetapi jalannya akan sangat berat dan penuh tantangan.
Sumber: RuangBicara
Artikel Terkait
OTT KPK Gagalkan Gubernur Riau Kabur, Ini Identitas dan Modus yang Bikin Heboh
BREAKING: KPK Umumkan Nasib Gubernur Riau Abdul Wahid Pagi Ini! Ini Fakta OTT dan Uang Sitaan Rp1 Miliar+
Ustadz Abdul Somad Beri Dukungan Usai Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK, Ini Pesan Hadistnya
OTT KPK! Harta Fantastis Gubernur Riau Abdul Wahid Tembus Rp4,8 Miliar, Ini Rinciannya