Di Balik Hilirisasi Nikel: Dinasti Jokowi dan Eksploitasi Raja Ampat Demi Tambang Satu Per Satu Terungkap!

- Senin, 09 Juni 2025 | 21:40 WIB
Di Balik Hilirisasi Nikel: Dinasti Jokowi dan Eksploitasi Raja Ampat Demi Tambang Satu Per Satu Terungkap!




POLHUKAM.ID - "Indonesia ini negara besar, kita harus bersyukur punya cadangan nikel terbesar di dunia...".


Itulah pernyataan Gibran Rakabuming Raka, saat Debat Cawapres, 21 Januari 2024 lalu.


Namun di balik slogan besar hilirisasi nikel dan semangat energi hijau yang digaungkan oleh Presiden ke-7, Joko Widodo dan putranya, Gibran Rakabuming Raka, jejak aktivitas pertambangan justru menimbulkan kekhawatiran.


Raja Ampat, surga wisata bawah laut Indonesia, kini terancam rusak oleh aktivitas tambang nikel berskala besar.


Ironisnya, kapal tongkang dan tunda yang mengangkut nikel dari kawasan itu berlabel nama-nama keluarga Jokowi: JKW Mahakam dan Dewi Iriana.


Pada Debat Cawapres 2024, Gibran memaparkan visi industrialisasi nasional.


“Hilirisasi harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya. Tidak hanya tambang, tapi juga pertanian, maritim, dan digital,” kata Gibran saat berhadapan dengan Cak Imin.


Gibran menekankan bahwa Indonesia tidak boleh terus mengekspor bahan mentah.


Ini memperkuat gagasan mantan Presiden Jokowi sejak 2020, yang menekankan hilirisasi nikel sebagai jalan menuju kendaraan listrik dan ekonomi hijau.


Belakangan, publik dikejutkan oleh kemunculan kapal tongkang dan tunda yang mengangkut nikel dari Raja Ampat menuju Halmahera.


Nama kapal tersebut mengundang tanya, JKW MAHAKAM dan DEWI IRIANA.


Tak hanya satu, ditemukan lebih dari enam kapal tongkang dan tunda dengan nama-nama ini, semuanya beroperasi rutin di wilayah tambang nikel Papua Barat Daya.


Kapal tersebut terekam mengangkut ore nikel dari Pulau Gag dan Kawe, dua pulau kecil Raja Ampat.


Aktivitas bongkar muat dilakukan menuju Halmahera, tempat pabrik pengolahan nikel berdiri.


Kapal-kapal diduga terafiliasi dengan perusahaan yang memiliki hubungan tidak langsung dengan lingkar kekuasaan mantan Presiden Jokowi.


Investigasi Walhi Papua dan Greenpeace menunjukkan bahwa, tambang nikel telah membuka lebih dari 500 hektare kawasan hutan tropis.


Aktivitas tambang menyebabkan sedimentasi yang mengubur terumbu karang dan mencemari laut dengan logam berat.


Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu biodiversity hotspot dunia, kini mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keunikan ekosistemnya.


Menurut laporan Channel News Asia (5 Juni 2025), sedimentasi akibat aktivitas tambang bahkan menjalar hingga perairan destinasi wisata seperti Pulau Piaynemo.


Warga adat suku Maya, pemilik hak ulayat atas Pulau Gag dan Kawe, mengaku tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.


Banyak nelayan mengeluh hasil tangkapan menurun hingga 70% dalam dua tahun terakhir.


Aktivis lokal menyebut ini sebagai "pengusiran diam-diam" dari tanah adat.


"Kami tidak pernah menjual tanah kami. Tapi tambang masuk begitu saja," ujar Yohanis, warga adat Kawe.


Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) telah melakukan inspeksi dan menemukan bahwa, perusahaan tambang beroperasi tanpa AMDAL yang sah.


Aktivitas terjadi di zona pulau kecil, yang dilindungi UU No. 1 Tahun 2014.


Bahkan itu juga memaksa Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk menyetop sementara operasional perusahaan dan sedang melakukan evaluasi menyeluruh.


Kehadiran armada kapal dengan nama keluarga Jokowi menimbulkan pertanyaan publik.


Apakah kapal-kapal tersebut dimiliki atau dikendalikan oleh keluarga Jokowi?


Apakah ada konflik kepentingan antara kebijakan negara dan kepentingan pribadi/keluarga?


Apakah proyek hilirisasi dijadikan tameng untuk eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan elite?


Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi mengenai keterkaitan langsung dengan armada kapal tersebut.


Slogan hilirisasi nikel yang digadang-gadang sebagai langkah menuju ekonomi hijau dan kemandirian justru dibayangi praktik yang bertolak belakang.


Raja Ampat, surga dunia, kini menjadi korban ambisi industri dan hilirisasi yang tak terkontrol.


Energi hijau tidak boleh mengorbankan lingkungan. Hilirisasi harus mengedepankan keberlanjutan dan keadilan sosial.


Kepentingan keluarga elite tidak boleh bersinggungan dengan mandat negara.


Apakah hilirisasi benar-benar untuk rakyat, atau hanya alat baru eksploitasi?


Sementara itu, Jokowi sempat menyinggung bahwa Keindahan alam Raja Ampat selalu membuatnya ingin kembali.


"Keindahan alam Raja Ampat membuat Saya ingin kembali kesini. Selain pemandangan pantai, laut yang sangat indah, Raja Ampat mempunyai keindahan alam bawah laut yang sangat indah, salah satu yang terbaik di dunia," ungkap Jokowi.


Kembali untuk mengeruk dan mengangkut hasil tambang nikel dengan bersembunyi di kata hilirisasi.


Sumber: PorosJakarta

Komentar

Terpopuler