Ketika hukum dibengkokkan, moral dibungkam, dan logika dikaburkan, maka pemilu bukan lagi ajang memilih, melainkan ajang mengukuhkan hasil rekayasa.
Bagaimana dengan kompetensinya? Gibran adalah sosok muda yang, sayangnya, belum menunjukkan kedalaman gagasan.
Ia berbicara dalam potongan-potongan jargon, tak menawarkan arah kebijakan yang visioner.
Ia adalah wakil presiden dalam bayangan kekuasaan, bukan dalam terang kepemimpinan.
Pemakzulan bukan sekadar soal pelanggaran hukum berat.
Ia bisa diajukan bila seorang pejabat negara kehilangan legitimasi moral dan konstitusional!
Dalam konteks ini, Gibran adalah simbol dari krisis integritas sistem. Dan sistem yang krisis tak akan pulih tanpa koreksi.
Seorang negarawan besar pernah mengatakan: “Negara yang tak mampu menjaga moralitas konstitusinya, akan pelan-pelan kehilangan kepercayaan warganya.”
Maka pertanyaannya: seberapa jauh kita akan membiarkan rasa percaya itu runtuh, demi membela satu nama?
Bila akal sehat benar-benar kita dengar, maka pemakzulan bukan sekadar masuk akal—ia adalah kewajiban moral.
Bukan karena kita benci pada Gibran sebagai pribadi, melainkan karena kita cinta pada republik ini.
Dan cinta, kadang-kadang, harus berani menolak sesuatu yang tampaknya sah, tapi lahir dari proses yang batil.
Penutup
Kita boleh memaafkan kekeliruan individu. Tapi membiarkan kebusukan sistemik adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan.
Bila akal sehat masih punya tempat di negeri ini, maka suara itu sudah sangat jelas: “Makzulkan Gibran. Demi logika. Demi konstitusi. Demi akal sehat itu sendiri.” ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur