WOW! Sinar Mas, Jhonlin hingga Keluarga Prabowo Disebut Ikut Kuasai Separuh Lahan Bersertifikat RI

- Selasa, 15 Juli 2025 | 15:25 WIB
WOW! Sinar Mas, Jhonlin hingga Keluarga Prabowo Disebut Ikut Kuasai Separuh Lahan Bersertifikat RI




POLHUKAM.ID - Ketimpangan penguasaan lahan kembali jadi sorotan usai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid mengungkap bahwa hampir setengah dari total lahan bersertifikat di Indonesia hanya dikuasai oleh 60 keluarga.


Dari 55,9 juta hektare tanah bersertifikat, sekitar 48 persennya—atau lebih dari 26 juta hektare—dikuasai oleh kelompok elite melalui skema korporasi.


Di balik data mencengangkan itu, sejumlah nama besar mulai disorot publik. 


Di antaranya, konglomerasi seperti Sinar Mas Group dan Jhonlin Group, serta tak kalah mengejutkan, keluarga Presiden Prabowo Subianto juga disebut-sebut sebagai bagian dari pemilik lahan skala raksasa.


Meskipun Nusron Wahid enggan merinci siapa saja 60 keluarga yang dimaksud, pernyataannya membuka ruang investigasi publik.


Nusron menyebut penguasaan itu dilakukan lewat Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) oleh perusahaan-perusahaan besar yang bila ditelusuri ke pemilik manfaatnya (beneficial ownership), mengerucut pada hanya segelintir elite.


Organisasi masyarakat sipil tak tinggal diam. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) merilis analisis yang mengaitkan konsentrasi penguasaan tanah dengan nama-nama besar yang selama ini lekat dengan bisnis skala nasional.


Sinar Mas, Jhonlin Group dan Wilmar Group disebut sebut dari sekian korporasi yang menguasai lahan dalam jumlah sangat besar.


Namun yang paling ironis, menurut Sekretaris AGRA, Saiful Wathoni, adalah fakta bahwa keluarga Presiden Prabowo Subianto juga termasuk dalam jajaran tersebut.


Hal ini menimbulkan paradoks dalam narasi pemerataan agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah.


Kritik terhadap Janji Reforma Agraria


Alih-alih menunjukkan langkah progresif, AGRA menilai tidak ada sinyal konkret bahwa pemerintahan Prabowo bergerak untuk mengurai ketimpangan struktural ini.


Bahkan, praktik-praktik lama seperti perampasan lahan dan penggusuran atas nama proyek strategis nasional dinilai masih marak terjadi.


“Reforma agraria itu bukan hanya bagi-bagi sertifikat, tapi restrukturisasi penguasaan tanah secara menyeluruh. Ini tidak bisa dilakukan bila pelaku utamanya justru duduk di lingkar kekuasaan,” tegas Saiful.


AGRA mendesak agar pemerintah tidak sekadar mengedepankan retorika keadilan, melainkan segera mengambil langkah korektif dengan membatasi konsentrasi kepemilikan lahan oleh korporasi besar, dan memulihkan hak rakyat atas tanah.


Ketimpangan Lahan


Dalam forum publik yang digelar di Jakarta, Minggu 13 Juli 2025 Nusron Wahid mengakui bahwa ketimpangan penguasaan lahan menjadi akar dari kemiskinan struktural yang membelenggu jutaan rakyat Indonesia.


Ia menyebut persoalan ini berasal dari kebijakan masa lalu yang lebih berpihak kepada pemodal besar ketimbang petani kecil.


“Kalau ditelusuri pemilik akhirnya, dari berbagai PT yang memegang HGU, hanya berkisar 60 keluarga,” ujar Nusron. Meski demikian, ia tak menyebut satu pun nama secara eksplisit.


Nusron Wahid: 60 Keluarga Kuasai Setengah Lahan di Indonesia!


Di tengah gencarnya janji pemerataan ekonomi, fakta mencengangkan justru diungkap oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid.


Ia menyebut hanya 60 keluarga yang menguasai hampir separuh lahan bersertifikat di Indonesia. 


Tepatnya, 48 persen dari total 55,9 juta hektare lahan berada di bawah kendali elit ekonomi tersebut—sebuah bentuk baru kolonialisme, menurut Nusron.


“Ini bukan sekadar ketimpangan. Ini bentuk penjajahan gaya baru yang dilembagakan negara melalui kebijakan-kebijakan yang menyesatkan selama puluhan tahun,” tegas Nusron dalam pidato di Jakarta, Minggu 13 Juli 2025.


Nusron memaparkan, lahan-lahan itu tersebar dalam berbagai nama perusahaan, namun setelah ditelusuri kepemilikannya, semuanya bermuara ke segelintir orang.


Bahkan, ada satu keluarga yang disebutnya menguasai 1,8 juta hektare lahan—setara enam kali luas Pulau Bali.


Sementara itu, petani kecil berebut dua hektare saja untuk menyambung hidup, menanam sayur, atau sekadar bertahan di tengah naiknya harga pupuk dan benih.


Menurut Nusron, ketimpangan kepemilikan tanah ini bukan terjadi begitu saja. 


Ia menyebutnya sebagai akibat dari “kesalahan kebijakan masa lalu” yang selama ini lebih memihak pemilik modal ketimbang rakyat.


“Orang jadi miskin bukan karena tidak mampu. Tapi karena kebijakan yang menutup akses mereka atas tanah, sumber produksi utama,” ujarnya.


Ketika struktur kepemilikan tanah timpang, maka kemiskinan struktural menjadi keniscayaan. 


Segelintir keluarga bisa hidup dari ratusan ribu hektare tanah, sementara jutaan keluarga petani hidup dari secuil lahan, atau bahkan tanpa tanah sama sekali.


Dalam konteks ini, Nusron menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan mandat khusus kepada Kementerian ATR/BPN untuk membalik arah kebijakan agraria.


Instruksi utama Presiden adalah menegakkan prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan dalam pengelolaan dan redistribusi tanah.


Sumber: Sawitku

Komentar