POLHUKAM.ID - Teka-teki di balik dinamika kekuasaan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pasca-Pilpres 2024 mulai tersibak. Apalagi terdapat isu pemakzulan wakil presiden.
Analisis tajam dari seorang mantan intelijen negara membongkar alasan strategis mengapa Prabowo dinilai masih 'ngotot' mempertahankan wakil presiden di sisinya, bahkan di tengah isu penugasan khusus ke Papua yang sarat akan kepentingan dan isu pemakzulan Gibran.
Manuver ini bukan sekadar urusan pembagian tugas, melainkan sebuah kalkulasi politik tingkat tinggi yang kompleks.
Dalam sebuah diskusi mendalam di kanal Forum Keadilan TV, Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, yang memiliki latar belakang di intelijen negara, mengupas tuntas motif di balik relasi Prabowo-Gibran.
Menurutnya, ada alasan fundamental mengapa Prabowo membutuhkan Gibran lebih dari sekadar wakil.
Gibran Sebagai 'Bemper' Politik Prabowo
Alasan utama dan yang paling mendasar adalah menjadikan Gibran sebagai perisai politik.
Kolonel Chandra secara lugas menyebut Gibran diposisikan sebagai "penangkal petir" untuk mengamankan citra Prabowo dari serangan dan kritik publik.
"Prabowo dinilai masih menginginkan Gibran sebagai wakilnya, salah satunya sebagai 'bemper' agar fokus kritik tidak langsung tertuju padanya," ungkap Chandra dikutip dari YouTube pada Selasa (15/7/2025).
Dengan strategi ini, setiap isu kontroversial atau kebijakan yang tidak populer berpotensi dialihkan ke sosok Gibran.
Hal ini memungkinkan Prabowo untuk menjaga citranya tetap positif, sementara Gibran yang menanggung beban serangan politik.
Dilema Papua dan Bayang-Bayang Masa Lalu Jokowi
Meskipun membutuhkan Gibran sebagai tameng, Prabowo disebut menghadapi dilema besar, terutama terkait wacana penugasan Gibran untuk mengurus Papua.
Keraguan ini, menurut analisis Kolonel Chandra, berakar dari sejarah masa lalu ayah Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ada keraguan dari Prabowo terkait penempatan Gibran di Papua karena latar belakang masa lalu ayahnya, Jokowi, yang pernah membawa dokumen referendum Papua Barat ke Brisbane pada tahun 2014," paparnya.
Insiden historis ini diinterpretasikan sebagai jejak 'pengkhianatan' yang membuat Prabowo berpikir dua kali untuk menyerahkan wilayah strategis dan sensitif seperti Papua kepada Gibran.
Ini menciptakan tarik-ulur antara kebutuhan politik pragmatis dan kekhawatiran akan loyalitas yang dibayangi sejarah.
Karakter Prabowo Berubah, Tekanan Jokowi Menguat?
Situasi pelik ini diperparah oleh dugaan adanya perubahan karakter pada diri Prabowo.
Sosok yang dikenal tegas dan percaya diri kini dinilai lebih peragu dalam mengambil keputusan krusial.
"Ada perubahan karakter pada Prabowo yang kini terlihat lebih peragu dibandingkan masa lalunya yang overconfident," ujar Chandra.
Keraguan ini, lanjutnya, tidak muncul dari ruang hampa.
Ada tekanan kuat yang diduga datang dari lingkaran kekuasaan sebelumnya, terutama dari pihak Jokowi, yang pengaruhnya dianggap masih signifikan.
"Prabowo dinilai ragu-ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai persoalan, termasuk isu hukum dan kinerja menteri, karena adanya tekanan, terutama dari pihak Jokowi," tegasnya.
Jika Prabowo gagal mengambil sikap tegas dan terus berada dalam bayang-bayang dilema ini, risikonya tidak main-main.
Kolonel Chandra memperingatkan bahwa posisi Prabowo bisa menjadi bumerang di kemudian hari.
"Ia berpotensi menghadapi hambatan di 2029".
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Dokter Tifa Kasih Tanggapan Telak ke Jokowi soal Agenda Besar di Balik Isu Ijazah Palsu
Dokter Tifa Kasih Tanggapan Telak ke Jokowi soal Agenda Besar di Balik Isu Ijazah Palsu
Dokter Tifa Kasih Tanggapan Telak ke Jokowi soal Agenda Besar di Balik Isu Ijazah Palsu
Dokter Tifa Kasih Tanggapan Telak ke Jokowi soal Agenda Besar di Balik Isu Ijazah Palsu