Dalam logika itu, yang benar bukan yang jujur, melainkan yang berhasil.
Dan kita tahu, Jokowi berhasil. Tapi dengan ongkos mahal: hilangnya kepercayaan publik.
Ia pernah berjanji tak akan mengangkat anak dan menantunya dalam politik.
Hari ini, satu jadi wakil presiden, satu lagi menuju kursi gubernur. Ia pernah bilang tak akan ikut cawe-cawe soal pilpres.
Tapi kita tahu betapa kuat bayangannya dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi, KPU, bahkan dalam framing media.
Berbohong bukan lagi kegagalan moral. Tapi metode kekuasaan.
Tapi kenapa?
Barangkali karena sejak awal ia tidak pernah menganggap kebohongan sebagai bentuk pengkhianatan.
Barangkali sejak kecil, dalam rumahnya, kebenaran adalah apa yang berguna.
Agama? Mungkin hadir sebagai formalitas. Nilai? Mungkin tak lebih dari strategi.
Maka ia pun tumbuh menjadi manusia politik tanpa beban akhlak. Berjanji tanpa niat menepati. Berucap tanpa takut dilangitkan.
Kita menyaksikan seorang pemimpin yang tidak hanya ingkar, tapi tak merasa bersalah.
Seolah ia tak tahu bahwa kata adalah amanah. Dan barangkali ia memang tak pernah diajari begitu.
Dalam dunia di mana iman adalah fondasi moral, berbohong adalah dosa. Dalam dunia tanpa itu, bohong hanyalah taktik.
Kita tidak dilahirkan dengan akhlak. Kita menyerapnya. Dan apa yang diserap Jokowi—entah dari rumah, entah dari sejarah—telah membentuknya menjadi sosok yang kini kita kenal: presiden yang tak pernah benar-benar jujur.
Dan seperti kata seseorang yang sudah lama berhenti berharap: kita bukan sedang menyaksikan seorang pemimpin yang jatuh, tapi seseorang yang akhirnya memperlihatkan wajah aslinya. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Ahmad Sahroni Wisuda S3, Disertasinya yang Kini Jadi Sorotan Publik Usai Dulu Viral Gara-gara Ijazah Nilai 6
Kronologi Lengkap Kasus Dina Oktaviani: Karyawati Alfamart Tewas Diduga Dihamili Atasan, Keluarga Dievakuasi
Anak Menkeu Soroti Gaya Feodal di Pesantren, Sebut Ada Penghormatan Berlebihan
Prabowo Ditetapkan sebagai Presiden Perdamaian Dunia: Apa Artinya bagi Indonesia?