Studi Kasus Jokowi: Rasa Malu Itu Lebih 'Gatal' dari Kurap Yang Tak Mau Sembuh!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Mungkin ia tak pernah berdusta di pengadilan. Tak juga masuk bui karena ingkar janji.
Tapi di pengadilan rakyat, vonisnya sudah jatuh: kepercayaan terkikis, legitimasi runtuh.
Inilah risiko terbesar bagi pejabat publik yang berbohong—bukan semata soal hukum, tapi biaya sosial dan politik yang tak terukur.
Ketika ucapan pemimpin tak lagi sejalan dengan kenyataan, yang remuk bukan hanya reputasinya, melainkan harapan kolektif jutaan rakyat yang pernah percaya.
Jokowi adalah contoh paling nyata dari paradoks ini.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, kejujuran pejabat publik adalah fondasi dasar yang menopang kepercayaan rakyat.
Begitu kepercayaan itu retak akibat kebohongan, maka harga yang harus dibayar tidak hanya mahal, tetapi berlarut-larut.
Kebohongan seorang pejabat publik bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Studi kasus Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gambaran nyata bagaimana kebohongan politik, meski tak selalu diproses secara hukum, bisa berdampak luas secara sosial dan politik.
Antara Janji dan Realitas: Jalan Pulang yang Hilang
Jauh sebelum kekuasaan membentang di tangannya, Jokowi pernah berdiri di antara rakyat sambil bersumpah akan menjaga demokrasi, melawan dinasti, dan menegakkan keadilan.
Ia janji tak akan menyeret keluarga ke pusaran politik, tak akan membiarkan lembaga negara menjadi alat kekuasaan.
Namun, ketika putranya tiba-tiba melesat dari wali kota Solo ke kursi calon wakil presiden, dan saat Mahkamah Konstitusi—yang dipimpin oleh paman si anak—mengubah syarat pencalonan dengan aroma manipulasi, semua kata-kata itu berubah jadi abu. Seperti daun kering janji yang dibakar kekuasaan.
Dan anehnya, tak ada rasa malu. Tak ada pernyataan klarifikasi. Tak ada tanggung jawab moral.
Hanya senyum tipis, seolah rakyat bisa dibohongi dan akan melupakan semuanya dengan cepat.
Rasa Malu yang Mati
Di banyak bangsa besar, rasa malu adalah rem yang lebih kuat dari hukum.
Seorang menteri di Jepang bisa mundur hanya karena salah bicara. Di Korea Selatan, mantan presiden bisa dipenjara karena menyalahgunakan jabatan.
Tapi di negeri ini, pejabat publik bisa berdusta di siang bolong, lalu berswafoto di malam harinya seolah tak terjadi apa-apa.
Rasa malu, bila masih ada, seharusnya menjadi sanksi pertama. Tapi ketika rasa malu mati, hukum pun menjadi hanya simbol, bukan penegak. Dan ketika hukum pun diam, publik pun dipaksa hidup dalam keputusasaan.
Ibarat gatal yang tak kunjung sembuh, kebohongan demi kebohongan itu terus digaruk dengan pembenaran-pembenaran yang menyakitkan.
Biaya Mahal dari Satu Kebohongan
Kebohongan seorang pemimpin bukan hanya soal reputasi pribadi. Ia menular. Ia merusak tatanan. Aparat negara menjadi partisan.
Pemilu jadi panggung rekayasa. Mahasiswa turun ke jalan, rakyat kehilangan harapan, dan demokrasi sekarat perlahan.
Celakanya, semua itu tak masuk pasal pidana. Tak bisa dituntut dengan KUHP. Tapi efeknya jauh lebih berbahaya dari kriminal biasa.
Ini adalah krisis kepercayaan yang menjalar seperti infeksi—pelan, tak terlihat, tapi mematikan.
Penutup: Di Mana Kita Akan Berdiri
Dalam sejarah, tidak ada pemimpin yang dikenang karena berhasil memelihara kebohongan.
Mereka yang berkuasa dengan cara-cara licik hanya akan dicatat sebagai catatan kaki yang memalukan.
Bagi Jokowi, waktu mungkin belum selesai, tapi catatan moral rakyat sudah dibuat: terlalu banyak luka yang tak dijawab, terlalu banyak janji yang tak ditepati.
Dan di tengah semua ini, satu hal yang hilang adalah sesuatu yang dulu sederhana: rasa malu.
Sebab bila rasa malu itu masih ada, kebohongan itu tak akan menjalar sejauh ini. Tapi nyatanya, ia terus hidup—lebih gatal dari kurap, dan tak juga sembuh. ***
Artikel Terkait
Jejak Wakidi Calo Bus di Terminal Tirtonadi Solo, Kini Disebut Jadi Mulyono Teman Jokowi
Kenapa Ada Motor Orang Lain di Garasi Ridwan Kamil?
Ketika Presiden Menjadi Agen Kejahatan
Hasil Autopsi Keluar, Bunuh Diri atau Dibunuh? Besok Polisi Umumkan Penyebab Kematian Diplomat Arya