Sementara Prabowo, yang tumbuh di lingkungan elite, memandang dunia dengan kacamata yang lebih idealis.
Perbedaan ini terekam jelas dalam catatan harian Gie.
Ia pernah skeptis terhadap ide Prabowo untuk sebuah proyek sukarelawan pembangunan.
Gie menganggapnya tidak realistis dan kurang persiapan.
“Prabowo cerdas, tapi ia masih sangat muda dan naif,” ungkap Gie dalam catatan harian yang dibukukan.
Dalam catatan lainnya, Gie menulis dengan lebih dalam.
“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas, tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah.”
Tulisan ini menunjukkan kasih sayang Gie, sekaligus kritiknya bahwa Prabowo perlu merasakan langsung denyut nadi perjuangan rakyat, bukan hanya membacanya dari buku atau mendengarnya dari ruang keluarga.
Pendakian Terakhir dan Kenangan Abadi
Di tengah hiruk pikuk politik Jakarta, Gie menemukan kedamaian di alam bebas.
Mendaki gunung bersama kawan-kawannya di Mapala UI menjadi pelariannya.
Pada Desember 1969, Gie merencanakan pendakian ke atap Jawa, Gunung Semeru.
Untuk pendakian itu, Prabowo meminjamkan sepatu gunungnya kepada sahabatnya.
Sebuah gestur pertemanan yang sederhana, namun menjadi penanda sebuah tragedi.
Gie tidak pernah kembali dari pendakian tersebut.
Ia meninggal dunia setelah menghirup gas beracun dari kawah Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
Sepatu gunung dari Prabowo menjadi saksi bisu perjalanan terakhir sang aktivis.
Kematian Gie meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi Prabowo tetapi juga bagi satu generasi yang melihatnya sebagai suluh perjuangan.
Pemikiran-pemikiran tajamnya kemudian diabadikan dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang terbit pada 1983, menjadi bacaan wajib bagi aktivis dan kaum muda yang mendambakan perubahan.
Sementara itu, Prabowo menapaki jalan hidup yang berbeda, dari militer hingga ke puncak kekuasaan politik.
Namun, bayang-bayang persahabatannya dengan Gie, seorang idealis yang mengkritiknya dengan tulus, barangkali turut membentuk cara pandangnya dalam mengarungi kompleksitas politik Indonesia.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur