Sayangnya, alih-alih dilindungi, mereka justru dihadapi dengan represi brutal.
Bentrokan pecah, gas air mata ditembakkan, dan aparat bertindak represif. Beberapa orang tewas, ratusan luka-luka.
Peristiwa ini segera diberitakan oleh media internasional, dari Reuters hingga Al Jazeera, yang menyoroti bagaimana Indonesia kembali menunjukkan wajah otoriterisme.
Di tengah narasi “demokrasi terbesar ketiga di dunia”, fakta bahwa demonstran tewas di jalanan adalah ironi yang mempermalukan bangsa di mata dunia.
4. Hedonisme Pejabat: Elit Berpesta, Rakyat Merana
Jika rakyat semakin terjepit oleh inflasi, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan minimnya akses pekerjaan, sebagian pejabat justru mempertontonkan gaya hidup mewah.
Media sosial penuh dengan tayangan anak pejabat yang berpose dengan mobil sport miliaran rupiah, pesta ulang tahun mewah, hingga liburan ke luar negeri dengan gaya glamor.
Kasus Mario Dandy, anak pejabat pajak yang memamerkan mobil Rubicon dan Harley Davidson sebelum terlibat dalam kasus penganiayaan, hanyalah puncak gunung es.
Di berbagai kementerian dan lembaga, pejabatnya dikenal bergelimang fasilitas dan gaya hidup berlebihan—sementara rakyat harus antre bantuan sosial untuk sekadar bertahan hidup.
Fenomena ini menjadi bahan pemberitaan media internasional, yang menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan jurang lebar antara elit dan rakyat jelata.
Hedonisme pejabat bukan hanya soal moral pribadi, tetapi mencerminkan ketidakadilan struktural yang membuat bangsa ini semakin kehilangan wibawa.
5. Korupsi Tak Berkesudahan: Konsistensi yang Memalukan
Di balik hiruk pikuk politik, penyakit lama tetap bercokol: korupsi.
Dalam periode 2023–2024 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat puluhan kasus besar, mulai dari kasus korupsi pejabat kementerian hingga kepala daerah. Ironisnya, KPK sendiri semakin dilemahkan oleh revisi undang-undang dan intervensi politik.
Laporan Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023, dengan skor hanya 34.
Dunia melihat Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, namun terus gagal melawan korupsi karena para pejabatnya justru menjadi bagian dari masalah.
Penutup: Saatnya Berhenti Menanggung Malu
Sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa luka bangsa ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan hasil dari sistem politik yang dikendalikan segelintir elit.
Dari ijazah palsu yang tak pernah tuntas, nepotisme telanjang, represi berdarah, hedonisme pejabat, hingga korupsi yang tiada henti—semuanya telah mempermalukan Indonesia di mata dunia.
Kini pertanyaan mendesak bagi rakyat adalah: sampai kapan kita rela dipermalukan oleh para pemimpin yang menukar masa depan bangsa dengan ambisi pribadi, pesta kekuasaan, dan kepentingan keluarga?
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Polisi Gerebek Pesta Gay di Surabaya, Ini Kronologi Lengkap yang Berawal dari Laporan Warga
Bocoran Dokumen hingga Pengacara! 4 Kesamaan Mengejutkan Proses Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong
Sengkarut Utang Whoosh: Alasan Jokowi Tegaskan KCJB Bukan untuk Cari Untung
Satu Kembali, Sisanya Hilang: Daftar Lengkap Perhiasan yang Dicuri dari Louvre Paris