POLHUKAM.ID - Bayangkan sebuah ritual di mana ratusan pemuda dan pemudi, berpakaian adat Bali yang anggun, saling mendekat di tengah jalan desa yang ramai, diiringi tawa riang dan siraman air segar yang menyegarkan.
Ini bukan adegan dari festival modern yang hedonis, melainkan Tradisi Omed-Omedan, yang sering disebut sebagai "ciuman massal" di Bali.
Digelar setiap tahun di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan, ritual ini menjadi magnet bagi wisatawan yang haus akan pengalaman budaya autentik.
Lebih dari sekadar tontonan sensasional, Omed-Omedan mencerminkan harmoni antara spiritualitas Hindu Bali, kebersamaan sosial, dan semangat penyambutan tahun baru Saka.
Pada paragraf pembuka ini, kita akan menyelami bagaimana ritual ini, yang berakar sejak abad ke-17, tidak hanya melestarikan warisan leluhur tetapi juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini di tengah arus globalisasi yang kian deras.
Tradisi Omed-Omedan, yang secara harfiah berarti "tarik-menarik" dalam bahasa Bali, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kalender budaya pulau Dewata.
Ritual ini dilaksanakan tepat sehari setelah Hari Raya Nyepi, pada hari yang dikenal sebagai Ngembak Geni atau "menyalakan kembali api".
Nyepi sendiri adalah hari sunyi total di Bali, di mana seluruh aktivitas duniawi dihentikan untuk introspeksi dan pemurnian diri sesuai ajaran Hindu.
Keesokan harinya, Omed-Omedan muncul sebagai ledakan kegembiraan yang kontras, menandai dimulainya aktivitas sosial kembali.
Lokasinya yang tetap di Banjar Kaja, Desa Sesetan, membuatnya menjadi situs ziarah budaya bagi ribuan pengunjung setiap tahun.
Menurut catatan sejarah lokal, tradisi ini pertama kali muncul pada masa Kerajaan Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar Selatan, di mana ritual awalnya hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan sebagai bentuk syukur atas kesembuhan sang raja dari penyakit misterius akibat kegaduhan pemuda desa.
Sejarah Omed-Omedan sarat dengan legenda yang menambah daya magisnya.
Konon, pada suatu masa di abad ke-17, seorang raja dari Puri Oka yang sedang sakit parah terganggu oleh suara riuh-rendah pemuda desa yang bermain tarik-menarik di jalan utama.
Raja, yang kesalnya memuncak, keluar dari istana untuk menghentikan keributan tersebut.
Namun, alih-alih marah, pemandangan kegembiraan itu justru menyembuhkan penyakitnya secara ajaib.
Sejak saat itu, raja memerintahkan agar permainan tersebut dijadikan tradisi tahunan untuk menjaga keseimbangan energi positif dan negatif di desa.
Legenda ini tidak hanya menjadi cerita rakyat, tetapi juga dasar filosofis ritual: "omed" melambangkan tarikan antara kekuatan baik dan buruk, mirip dengan konsep push-pull dalam filsafat Timur.
Meskipun asal-usul pastinya sulit dilacak, catatan kolonial Belanda menyebutkan upaya pelarangan ritual ini pada awal abad ke-20 karena dianggap bertentangan dengan norma kesopanan Eropa.
Namun, masyarakat Bali tetap mempertahankannya, membuktikan ketangguhan budaya lokal terhadap pengaruh asing.
Pelaksanaan Omed-Omedan adalah puncak dari persiapan yang matang dan sarat makna spiritual.
Acara dimulai dengan doa massal di Pura Banjar Kaja, di mana para peserta—pemuda dan pemudi usia 17 hingga 30 tahun yang belum menikah—mengenakan pakaian adat lengkap: kain songket untuk pria dan kebaya sutra untuk wanita.
Setelah itu, tarian Barong Bangkung yang sakral digelar di tengah jalan, diiringi gamelan yang menggema, untuk mengusir roh jahat dan membuka ruang bagi energi positif.
Peserta dibagi menjadi dua kelompok: teruna (pria) dan teruni (wanita), yang berbaris saling berhadapan di Jalan Raya Sesetan.
Dengan aba-aba dari pemimpin Hindu setempat, kedua kelompok maju ke tengah, saling tarik-menarik dengan tangan kosong.
Saat bertemu, pasangan terdepan saling berpelukan erat, sering kali disertai ciuman singkat di pipi atau bibir, sebelum disiram air oleh penonton untuk menandai akhir ronde.
Proses ini berulang hingga semua peserta bergiliran, berlangsung sekitar dua jam di bawah terik matahari Bali.
Elemen air dalam siraman bukan hanya untuk keseruan, tetapi juga simbol pemurnian, mengingatkan pada ritual Melasti menjelang Nyepi.
Di balik kesan sensasional sebagai "ciuman massal", tujuan utama Omed-Omedan adalah memperkuat ikatan sosial dan harmoni komunal.
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Jakarta Lumpuh! Ribuan Buruh dan Guru Madrasah Swasta Serbu Istana & DPR, Ini 5 Tuntutan yang Bikin Pemerintah Kelabakan
Viral! Oknum Brimob Catcalling di Trotoar, Langsung Dihajar Propam
Viral Gaya Hidup Mahasiswi UNS Penerima KIP: Ditemukan Dugem, Circle Hedon, tapi ke Kampus Jalan Kaki, Ini Fakta di Baliknya!
Deddy Corbuzier Resmi Diceraikan Sabrina: Terkadang Cinta Tak Cukup