Dalam konteks masyarakat Bali yang berbasis banjar (komunitas adat), ritual ini merepresentasikan nilai Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan—dengan fokus pada asah, asih, dan asuh antarwarga.
Bagi generasi muda yang sering terjebak rutinitas modern, Omed-Omedan menjadi sarana untuk menjalin silaturahmi, mengurangi isolasi sosial, dan bahkan mencari pasangan hidup.
Banyak pasangan suami-istri di Sesetan yang bertemu melalui ritual ini, menjadikannya sebagai "panggung jodoh" yang romantis.
Secara filosofis, tarik-menarik melambangkan perjuangan melawan godaan negatif, sementara pelukan dan ciuman singkat menekankan kasih sayang platonis yang murni, bukan hasrat carnal.
Tokoh adat seperti I Gusti Ngurah Oka Putra menegaskan bahwa ini bukan ajang umbar nafsu, melainkan bentuk dharma shanti untuk menjaga kedamaian desa.
Studi dari Jurnal Bali Membangun Bali (2019) juga menunjukkan bahwa partisipasi dalam Omed-Omedan meningkatkan rasa kebersamaan hingga 40% di kalangan pemuda Banjar Kaja.
Tradisi ini sempat menghadapi kontroversi yang menguji ketahanannya.
Pada 1980-an, pemerintah Orde Baru melarangnya karena dianggap pornografis dan bertentangan dengan norma kesusilaan nasional yang dipengaruhi nilai Islam mayoritas.
Larangan itu berlangsung singkat; tak lama setelahnya, dua ekor babi hutan bertarung sengit di lokasi ritual, yang diinterpretasikan sebagai pertanda buruk dari alam semesta.
Kematian misterius dan peningkatan kasus penyakit di desa semakin meyakinkan warga untuk melanjutkan tradisi.
Data historis menunjukkan penurunan tingkat kriminalitas dan peningkatan solidaritas pasca-pelaksanaan, membuktikan manfaatnya secara empiris.
Hingga kini, Omed-Omedan tetap dilindungi sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, meski dengan pengawasan ketat untuk menjaga kesakralan.
Daya tarik wisata Omed-Omedan semakin menonjol di era digital, menjadikannya konten viral di media sosial.
Wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa dan Australia, berdatangan khusus untuk menyaksikan ritual ini, sering kali membandingkannya dengan festival Carnival di Rio atau Holi di India.
Pada 2024, acara menarik lebih dari 5.000 pengunjung, berkontribusi pada ekonomi lokal melalui penjualan makanan tradisional seperti babi guling dan loloh cemcem di bazaar jalanan.
Namun, tantangan muncul dari overtourism: kerumunan yang berlebih mengganggu kesakralan, sementara pandemi COVID-19 sempat membatasi partisipasi.
Upaya pelestarian melibatkan edukasi bagi wisatawan agar hanya sebagai penonton, bukan peserta, untuk menghormati norma adat.
Festival ini juga menjadi model bagaimana budaya lokal bisa adaptif, dengan penambahan elemen modern seperti live streaming untuk audiens global tanpa mengorbankan esensi.
Lebih dalam lagi, Omed-Omedan mencerminkan dinamika gender dan seksualitas dalam masyarakat Bali tradisional.
Meski tampak egaliter, ritual ini memberdayakan perempuan sebagai teruni yang aktif menarik balik, menantang stereotip pasifitas.
Dalam konteks Hindu Bali, ciuman di sini bukan ekspresi erotis, melainkan simbol Tri Mandala—pemurnian fisik, mental, dan spiritual.
Penelitian antropologi dari Universitas Udayana (2022) mengungkap bahwa 70% peserta merasakan peningkatan rasa percaya diri pasca-ritual, terutama di kalangan pemudi yang jarang menunjukkan afeksi publik.
Ini kontras dengan norma Indonesia yang konservatif, di mana PDA (public display of affection) tabu, membuat Omed-Omedan menjadi ruang aman untuk eksplorasi identitas muda.
Evolusi Omed-Omedan juga terlihat dalam adaptasinya terhadap zaman.
Awalnya ritual elit kerajaan, kini menjadi milik kolektif banjar, dengan sekaa teruna teruni sebagai pelaku utama sejak 1990-an untuk memastikan kelestarian generasional.
Lagu pengantar seperti "Omed-Omedan, besik ngelutin, ne len ngedengin" yang dinyanyikan peserta, menggabungkan elemen ludruk (komedi rakyat) untuk menjaga semangat ringan.
Di tengah isu lingkungan, siraman air kini menggunakan sumber daur ulang untuk mendukung Tri Hita Karana.
Dalam keragaman tradisi Bali, Omed-Omedan menonjol sebagai perpaduan antara sakral dan sekuler, mengajak kita merefleksikan bagaimana budaya bisa menjadi alat rekonsiliasi sosial.
Sumber: VIVA
Artikel Terkait
Jakarta Lumpuh! Ribuan Buruh dan Guru Madrasah Swasta Serbu Istana & DPR, Ini 5 Tuntutan yang Bikin Pemerintah Kelabakan
Viral! Oknum Brimob Catcalling di Trotoar, Langsung Dihajar Propam
Viral Gaya Hidup Mahasiswi UNS Penerima KIP: Ditemukan Dugem, Circle Hedon, tapi ke Kampus Jalan Kaki, Ini Fakta di Baliknya!
Deddy Corbuzier Resmi Diceraikan Sabrina: Terkadang Cinta Tak Cukup