Kasus pembunuhan seorang remaja di Wakatobi pada tahun 2014 kembali menjadi sorotan setelah seorang anggota DPRD Wakatobi berinisial L ditetapkan sebagai tersangka.
Kuasa hukum L, Tony Hasibuan, menduga penetapan status tersangka ini bermotif politik dan menyoroti sejumlah kejanggalan hukum dalam prosesnya.
Kronologi dan Kontroversi DPO-SKCK Dalam sebuah wawancara, Tony Hasibuan menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari perkelahian massal pada tahun 2014, bukan pembunuhan tunggal. Menurut Hasibuan, penetapan kliennya sebagai tersangka setelah 11 tahun adalah hal yang janggal, terutama karena L baru saja terpilih sebagai anggota DPRD.
Kejanggalan utama yang disoroti adalah status kliennya sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) sejak tahun 2014. Tony Hasibuan mempertanyakan keabsahan status tersebut, terutama karena pada saat yang sama, L berhasil mendapatkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) untuk mencalonkan diri.
Ia mendesak pihak kepolisian untuk memberikan klarifikasi mengenai dua dokumen yang saling bertentangan ini.
Keberatan Kuasa Hukum dan Tuntutan Transparansi, Tony Hasibuan juga menyebutkan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum sejak awal kasus. Ia menilai proses investigasi pada 2014 tidak berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku dan kekurangan bukti yang memadai untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka tunggal.
Hasibuan meminta pihak berwenang untuk transparan dan mengungkap semua bukti terkait kasus ini. Ia juga menekankan bahwa L akan kooperatif menghadapi proses hukum, namun saat ini sedang berfokus pada tugasnya sebagai wakil rakyat, termasuk pembahasan anggaran.
Tanggapan dari Pihak Tersangka, Tony Hasibuan menyampaikan bahwa kliennya membantah keras tuduhan keterlibatan dalam pembunuhan tersebut.
"L bahkan telah bersumpah atas nama calon anaknya bahwa ia tidak bersalah dan siap mengikuti proses hukum untuk membuktikan ketidakbersalahannya," tutupnya.
Sebelumnya, Tony meminta kepolisian segera mengklarifikasi keputusan mereka terkait penetapan status DPO kliennya. Ia menantang aparat penegak hukum untuk menunjukkan bukti nyata yang bisa membuktikan tuduhan pembunuhan terhadap Litao.
“Kalau memang ada, tunjukkan bukti. Faktanya, sampai hari ini tidak ada satupun hasil visum yang menunjukkan adanya korban pembunuhan,” tegas Tony, dikutip, Minggu, 14 September 2025.
Ia juga menyoroti persoalan SKCK yang diterbitkan kepolisian di Wakatobi. Dokumen yang seharusnya menjadi alat administratif untuk menunjukkan catatan kriminal seseorang, menurut Tony, justru digunakan secara keliru oleh polisi untuk memperkuat tuduhan.
Hal ini dinilai berbahaya karena dapat menyesatkan opini publik.
“SKCK seharusnya obyektif, bukan dijadikan alat untuk membangun tuduhan. Kalau dipakai secara salah, itu bisa menyesatkan masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Tony menegaskan pentingnya menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah. Ia menyebut, setiap tuduhan hukum harus melewati proses resmi yang transparan dan sesuai KUHAP.
Menjatuhkan status DPO tanpa bukti sah, apalagi tanpa adanya hasil visum, bisa melanggar hak asasi manusia serta merusak reputasi seseorang.
Sebagai informasi, La Ode Litao adalah Anggota DPRD Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dari Fraksi Hanura. Tony meminta kepolisian untuk segera memberikan klarifikasi terbuka agar publik mendapatkan kejelasan hukum.
“Institusi hukum harus menjaga integritas, bukan membuat keputusan tanpa dasar bukti,” tutupnya.
Sumber: disway
Foto: Kuasa hukum bantah status DPO La Ode Litao dan soroti SKCK polisi.-disway.id-
Artikel Terkait
Stafsus Menpar Widiyanti Bantah Isu Air Galon untuk Mandi: Hoaks!
Erina Gudono pakai bando seharga 4x UMR Jogja, publik pertanyakan citra sederhana ala Jokowi
Keponakan Gus Mus dan Ayahnya Ulama Besar, Pemuda Aswaja Haqqul Yaqin Gus Yaqut tak Korupsi
Prabowo Naikkan Gaji ASN di Tengah Efisiensi, Celios: Perburuk Ketimpangan dengan Pekerja Informal