Didi juga mengkritik harga tiket kereta cepat yang berkisar antara Rp250 ribu hingga Rp350 ribu per orang. Menurutnya, tarif semacam ini membuat layanan kereta cepat tidak terjangkau bagi masyarakat umum. “Bagi banyak warga, kecepatan 40 menit bukan kebutuhan, tapi kemewahan. Di pelosok negeri, masih banyak pelajar menyeberangi sungai tanpa jembatan dan ribuan jalan desa rusak. Negara ini lebih sibuk membangun simbol kemajuan daripada pondasi kesejahteraan,” paparnya.
Masalah Efisiensi dan Rute yang Tidak Optimal
Secara teknis, Didi menilai proyek ini tidak efisien karena rute berhenti di Padalarang, bukan di pusat kota Bandung. Ia mengutip mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan yang menyatakan, “Untuk jarak segitu, kereta cepat tidak efisien. Tidak akan sebanding antara biaya dan manfaatnya.”
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Didi juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas publik terkait proyek ini. Masyarakat hingga kini belum mendapatkan akses penuh terhadap isi kontrak dan struktur pembiayaan. “Proyek publik semestinya disertai keterbukaan, bukan berlindung di balik label ‘proyek strategis nasional’,” tegasnya.
Ia menutup dengan sindiran, “Kereta cepat boleh melaju 350 km/jam, tapi tanggung jawab moral Jokowi dan para pejabat terkait tidak boleh selambat ini. Setiap kilometer rel adalah cicilan masa depan, setiap bunga pinjaman adalah beban generasi mendatang.”
Sumber: suaranasional.com
Artikel Terkait
Amerika Kerahkan 10.000 Pasukan, Venezuela di Ujung Tembak? Ini Faktanya
Kronologi Lengkap Kasus Penyekapan & Penganiayaan di Pondok Aren yang Bikin Geram
Anak Gubernur Mahyeldi Gagal Nyaleg PKS, Kini Jadi Plt Ketua DPW PSI Sumbar: Ini Kisah Pilunya
Terungkap Modus Tambang Ilegal di Indonesia: Cara Kerja dan Dampak Mengerikannya!