The New York Times harian terkemuka mengingatkan, “For Indonesia President, a Term is Ending, but a Dynasty Is Beginning”. Tidak masuk akal kalau kita berpangku tangan tidak peduli dengan kondisi tersebut.
Di titik ini, urgensi kekuatan logika mengimbangi logika kekuatan. Kekuatan logika memiliki arti koherensi nalar dan keajegan antara pikiran dengan tindakan. Sementara logika kekuatan mengandalkan nalar bengkok untuk memperdaya pihak lain demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Sialnya, hiruk-pikuk kampanye Pilpres sekarang belum menyentuh ihwal politik nilai seperti yang digariskan Rahman Tolleng. Kandidat presiden dan wakil presiden semuanya dangkal lebih mempertontonkan kampanye bernuansa“spin doctor”sekadar mencuri simpati publik kelas bawah.
Baca Juga: Menjemput Takdir ala Yusep Sudrajat, Sosoknya Tetap Tegas dan Lugas di Dunia Politik
Padahal tantangan ke depan jauh lebih berat. Jika kita belajar dari negara Chili justru perubahan datang dari kelas menengah. Statistik angka-angka pertumbuhan ekonomi makro Chili naik dibandingkan negara-negara Amerika Latin lain. Namun tuntutan kelas menengah tidak terbendung, hampir terjadi kerusuhan sosial di Chili. Karena mereka butuh pelayanan kesehatan bermutu, transportasi publik yang nyaman, sarana-prasarana pendidikan yang baik, bukan lagi program-program bersifat karitatif.
Jadi, Capres dan Cawapres masih percaya Bansos atau uang BLT, apalagi cuma melempar bingkisan untuk rakyat miskin. Jangan kaget akan menuai gelombang perubahan.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: realitapublik.com
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur