MIRIS! Kepedihan Anak-Anak Tergusur Proyek PIK-2 Aguan di Banten

- Rabu, 05 Maret 2025 | 21:20 WIB
MIRIS! Kepedihan Anak-Anak Tergusur Proyek PIK-2 Aguan di Banten


Beberapa anak bahkan terpaksa ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah, menjajakan makanan atau menjadi buruh di sekitar proyek yang dulunya adalah tanah mereka sendiri.


“Katanya ini demi pembangunan, tapi kenapa kami justru makin sengsara?” ujar Rudi (12), yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan daripada di sekolah. 


Ia masih ingat bagaimana gurunya dulu bercerita tentang pentingnya pendidikan. Tapi kini, ia merasa semua itu hanya angan-angan bagi anak-anak seperti dirinya.


Pemerintah daerah seolah tak berdaya menghadapi kuasa modal. Proyek ini bernilai triliunan rupiah, menjanjikan kawasan elite baru yang menyerupai Singapura. Namun, di balik megahnya proyek ini, ada ribuan keluarga yang terlunta-lunta.


Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis mencoba bersuara, tetapi suara mereka kalah oleh kekuatan uang dan kepentingan politik. Penggusuran terus terjadi dengan dalih legalitas yang seringkali dipertanyakan. 


Anak-anak yang kehilangan rumah, sekolah, dan komunitasnya hanya bisa menunggu keajaiban yang mungkin tak pernah datang.


Jika dibiarkan, dampak sosial dari penggusuran ini akan terasa bertahun-tahun ke depan. Anak-anak yang kehilangan pendidikan berpotensi terjebak dalam lingkaran kemiskinan. 


Trauma yang mereka alami—melihat rumah mereka dihancurkan, kehilangan teman, dan harus hidup dalam ketidakpastian—akan membekas dalam kehidupan mereka.


Di tempat lain, para pemilik modal bersulang merayakan suksesnya proyek yang membawa keuntungan besar. 


Mereka membangun perumahan mewah, pusat bisnis, dan taman buatan, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang untuk melihat jejak kesedihan yang mereka tinggalkan.


Anak-anak yang dulu berlari di tepi sungai kini hanya bisa memandang ke kejauhan, bertanya-tanya apakah mereka akan pernah mendapatkan kembali kehidupan yang diambil dari mereka.


Pembangunan adalah sebuah keniscayaan, tetapi apakah harus selalu ada yang dikorbankan? 


Dan jika yang dikorbankan adalah masa depan anak-anak, apakah kita benar-benar sedang membangun, atau justru menghancurkan? ***

Halaman:

Komentar

Terpopuler