Hal ini terbukti dari adanya kisruh internal yang berujung pada keluarnya sejumlah petinggi partai.
Jika nantinya PSI benar-benar menerapkan sistem pemilihan ketua umum oleh seluruh kader, tetap ada kekhawatiran mengenai potensi mobilisasi suara yang mengarah pada kemenangan Kaesang.
Artinya, meskipun seluruh kader diberikan hak suara, keputusan mereka tetap bisa dipengaruhi oleh struktur partai yang sudah mengakar dengan ideologi yang berorientasi pada Jokowi.
Dalam skenario ini, demokrasi yang diterapkan PSI bisa jadi hanya bersifat prosedural tanpa adanya kemandirian penuh dalam proses pemilihan.
Dampak bagi Demokrasi dan Penguatan Partai Politik
Transformasi PSI menjadi PSI Perorangan berpotensi meningkatkan citra positif di mata publik.
Publik dapat melihatnya sebagai langkah progresif karena memberikan hak kepada seluruh kader untuk memilih pemimpin partai—sesuatu yang jarang diterapkan dalam partai politik lain.
Hal ini dapat menciptakan perbandingan dengan partai-partai lain yang masih mempertahankan sistem pemilihan ketua umum secara tertutup melalui struktur hierarkis partai.
Namun, jika hasil akhirnya tetap berujung pada terpilihnya Kaesang karena mobilisasi internal, maka citra demokratis PSI akan tetap dipertanyakan.
Pada akhirnya, langkah ini lebih berorientasi pada strategi politik untuk menarik simpati publik dan memperkuat posisinya di kancah politik nasional.
Di sisi lain, perubahan yang dilakukan PSI juga dapat menciptakan tekanan terhadap partai-partai lain, terutama PDIP.
Sebagai partai dengan ideologi nasionalisme, PSI sering kali berupaya mengambil posisi yang berseberangan dengan PDIP.
Dengan mendeklarasikan dirinya sebagai partai yang lebih demokratis, PSI bisa menciptakan opini bahwa sistem kepemimpinan dalam PDIP lebih otoriter dan kurang transparan.
Secara keseluruhan, perubahan PSI menjadi PSI Perorangan tidak hanya berkaitan dengan gagasan demokrasi, tetapi juga strategi politik yang cermat dalam memanfaatkan momentum perseteruan antara Jokowi dan PDIP.
Meskipun PSI Perorangan tampak memberikan ruang lebih luas bagi keterlibatan kader, pertanyaan besar tetap ada: sejauh mana demokrasi yang diterapkan benar-benar memberikan kebebasan dalam pemilihan kepemimpinan internalnya? ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur