Tekanan Politik di Balik Lahirnya Supersemar

- Rabu, 12 Maret 2025 | 15:25 WIB
Tekanan Politik di Balik Lahirnya Supersemar


Aspirasi kekuasaan Soeharto, bahkan mungkin bisa ditarik lebih jauh lagi, ketika masih menjabat Pangdam Diponegoro pada pertengahan tahun 1950-an.


Strategi “kudeta merangkak” sejatinya diadopsi Soeharto dari taktik satuan tempur. Dalam operasi tempur, pihak yang menguasai ketinggian, semisal perbukitan, diasumsikan dalam posisi unggul. Itu sebabnya, satuan tempur (infanteri), selalu berusaha merebut posisi ketinggian. 


Apabila posisi ketinggian masih dalam penguasaan pihak lawan, harus direbut dengan cara “merangkak” atau menyusup secara perlahan, bukan melalui serbuan frontal.


Kudeta Soeharto memang tipikal, yang boleh jadi hanya Soeharto yang pernah melakukan ini, yang belum pernah ada rujukannya, dan tidak bisa diulang atau ditiru. 


Berbeda dengan kudeta (militer) yang biasa kita pahami selama ini, ketika sepasukan tentara merangsek ke simbol-simbol negara, seperti istana atau gedung parlemen, dengan dukungan kendaraan tempur, seperti yang biasa kita saksikan di Thailand, Filipina dan negara-negara Amerika Latin. 


Dan operasi “kudeta” ini biasanya hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam, layaknya operasi cepat khas pasukan komando.


Antara beasiswa Supersemar dan program MBG


Setelah resmi berkuasa, Soeharto memiliki imajinasi bagaimana agar jenama Supersemar tetap lestari, salah satunya dengan cara menjadikannya sebagai nama program beasiswa. Seolah terjadi paralelisme sejarah, ketika pemerintahan Prabowo meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG). 


Kedua program tersebut memiliki kemiripan, yaitu sama-sama menyelamatkan anak bangsa dari kemungkinan keterpurukan dari pendidikan tinggi dan kecukupan nutrisi.


Saya sendiri tidak hendak mengatakan, bahwa MBG terinspirasi oleh program beasiswa Supersemar, saya kira MBG adalah konsep Prabowo yang genuine. Program MBG sepertinya adalah kelanjutan dari pembawaan Prabowo sendiri. 


Sejak masih aktif sebagai komandan pasukan di masa lalu, Prabowo dikenal gemar “memanjakan” anak buah. Sudah jamak diketahui, Prabowo memiliki kecenderungan filantropi sejak lama.


Harus diakui, beasiswa Supersemar di masa lalu banyak membantu biaya pendidikan, utamanya bagi mahasiswa dari keluarga kelas bawah. 


Apa yang terjadi saat ini, mungkin bisa disebut kemunduran, ketika banyak orang tua atau mahasiswa tidak sanggup membayar biaya kuliah, sementara empat dasawarsa yang lalu Pak Harto sudah meluncurkan beasiswa Supersemar.


Sungguh realitas yang membuat kita miris, bagaimana mahasiswa-mahasiswa sampai terpaksa berutang pada pinjaman daring (pinjol) untuk membayar kuliah, yang ujung-ujungnya diteror jasa peminjam, karena mahasiswa tidak sanggup mengangsur, mengingat pinjol berbunga tinggi.


Ini sebuah kenyataan pahit, di tengah berlangsungnya periode bonus demografi, sebuah periode yang diharapkan akan muncul generasi muda yang kompeten dan produktif. 


Tanpa pendidikan yang memadai, termasuk asupan nutrisi yang cukup, dikhawatirkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045 tinggal menjadi angan-angan belaka.


Kendati bukan kelanjutan dari program beasiswa Supersemar, masih ada yang pelajaran atau nilai yang bisa dipetik darinya, oleh program MBG dan program sejenis, yakni tetap menjaga sikap kritis penerima manfaat. 


Seperti di masa Orde Baru dulu, kendati tidak terlalu banyak, tetap saja ada mahasiswa penerima beasiswa Supersemar yang tetap bersikap kritis terhadap rezim Soeharto, dan terlibat langsung dalam aksi protes di jalanan.


Sikap kritis terhadap kekuasaan adalah sebuah capaian positif. Beasiswa Supersemar murni program bantuan pendidikan, tanpa ada maksud mengekang aspirasi pihak penerima. Beasiswa Supersemar, maupun MBG saat ini, sama sekali bukan “gratifikasi” bagi sebuah generasi. 


Bila generasi baru tetap bersikap kritis, harus dibaca sebagai indikator keberhasilan sebuah program (dalam hal ini MBG), bahwa generasi yang bersikap kritis, berarti adalah generasi yang cerdas dan memiliki kepedulian.


Sementara sebuah generasi yang sekadar ikut-ikutan, cuma mengikuti arah angin bertiup, sama sekali bukan harapan bangsa ini, dan jauh pula dari angan-angan Presiden Prabowo, selak pemrakarsa program MBG. ***


Sumber: Inilah

Halaman:

Komentar

Terpopuler