Peradilan Keluarga Lindungi Pembunuh Berseragam? Rangkaian Kasus TNI Bunuh Warga Sipil Terungkap!

- Jumat, 21 Maret 2025 | 13:50 WIB
Peradilan Keluarga Lindungi Pembunuh Berseragam? Rangkaian Kasus TNI Bunuh Warga Sipil Terungkap!

“Ini lebih penting ketimbang merevisi UU TNI saat ini yang akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan memperparah militerisasi ruang-ruang sipil maupun jabatan sipil di Indonesia,” ungkapnya.


Sementara anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP I Wayan Sudirta menilai kasus pembunuhan yang dilakukan dua anggota TNI terhadap tiga anggota polisi di Kabupaten Way Kanan bisa dibawa ke peradilan umum. Sebab peristiwa itu terjadi di luar tugas kemiliteran.


“Jika memang itu bukan dalam melaksanakan tugas, dia bisa diadili di pengadilan umum," kata Wayan.


Pendapat serupa juga disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. 


Menurutnya pembunuhan yang dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil memang sepatutnya diadili di peradilan umum.


“Pembunuhan orang sipil bukan dalam konteks perang. Jadi harus diadili di pengadilan sipil,” jelas Fickar.


Ancaman Setelah RUU TNI Disahkan


Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang. 


Keputusan itu disampaikan dalam Rapat Paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Kamis, 20 Maret 2025.


Dalam RUU TNI yang telah disahkan menjadi undang-undang itu, pemerintah dan DPR RI sepakat menambah lima pos kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif. 


Kelima kementerian dan lembaga tersebut, yakni; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung RI.


Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad menilai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif TNI berpotensi semakin meningkatkan kekerasan militer terhadap masyarakat sipil.


“Persinggungan antara sipil dan militer itu menjadi lebih sering. Konsekuensi logisnya pasti akan lebih menambah potensi kekerasan terhadap sipil itu terjadi,” tutur Husein.


Imparsial yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sejak awal mendorong pemerintah dan DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 


Bukan justru merevisi Undang-Undang TNI. Apalagi revisi tersebut semakin mengembalikan dwifungsi TNI.


Revisi Undang-Undang Peradilan Militer, kata Husein, sudah semestinya dilakukan. 


Sebab ‘peradilan keluarga’ itu kerap menjadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang terlibat dalam kejahatan.


“Kami katakan ini adalah peradilan keluarga, kenapa? Karena baik terdakwanya, pengacaranya, jaksanya, dan hakimnya itu semuanya adalah anggota militer,” ungkapnya.


Dalam banyak perkara, peradilan militer cenderung memberikan hukuman ringan terhadap anggota TNI. 


Contohnya dalam perkara pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani (68) di Papua. Tiga anggota TNI AD yang menyiksa dan membunuh secara tragis hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.


“Artinya apa? Ada yang salah dalam sistem peradilan militer kita. Itu sebetulnya yang menyebabkan seorang panjurit TNI tidak takut melakukan perbuatan seperti itu. Karena tidak ada efek jeranya,” pungkas Husein.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar

Terpopuler