Roy dihukum bukan karena meme-nya, melainkan karena menyentuh sisi gelap kekuasaan: keabsahan ijazah Jokowi.
Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh analisis Roy, mestinya menjawab dengan bukti akademik, bukan balas dendam lewat pasal karet.
Kasus Roy Suryo menjadi preseden buruk dalam demokrasi. Negara telah gagal membedakan antara kritik akademik dengan ujaran kebencian.
Bahkan, ketika seorang tokoh umat Buddha menyatakan tidak keberatan atas meme yang dipersoalkan, tetap saja Roy dijebloskan ke penjara.
Publik juga mencatat, akun pemula yang pertama kali mem-posting meme stupa itu—yang diduga bagian dari jaringan buzzer kekuasaan—justru aman dari jeratan hukum. Sementara Roy, yang hanya repost, diproses secara cepat dan keras.
Mengapa?
Karena Roy adalah simbol perlawanan intelektual terhadap kekuasaan yang anti-intelektualisme.
Ia adalah alumni UGM sejati—kampus yang dulu menjunjung tinggi ilmu dan moralitas, namun kini diduga sebagian aparaturnya telah terkontaminasi oleh kepentingan birokrasi dan kekuasaan.
Rektorat dan dekanat yang seharusnya menjaga marwah keilmuan, kini justru ditengarai terlibat dalam pembenaran ijazah palsu.
Bahkan seorang guru besar hukum pidana UGM dinilai turut menjadi bagian dari “advokat hitam” yang membela kejahatan intelektual dengan logika yang manipulatif.
Inilah wajah kelam dari extraordinary crime dalam dunia intelektual Indonesia: pemalsuan ijazah, konspirasi kekuasaan, dan pembungkaman ilmu pengetahuan.
Roy Suryo adalah contoh nyata bagaimana seorang intelektual bisa dikriminalisasi hanya karena mempertanyakan keabsahan sebuah dokumen akademik dari seorang kepala negara.
Bukan hanya Roy yang menjadi korban, tapi seluruh prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas ikut dilanggar.
Alih-alih mengapresiasi peran serta masyarakat dalam pengawasan kekuasaan, negara justru memenjarakan mereka yang bersuara.
Ini bukan sekadar pelanggaran hak Roy, tapi juga pelecehan terhadap ilmu pengetahuan.
Jika negara sungguh menjunjung rule of law, maka sudah seharusnya kebenaran dibuka secara jujur, dan analisis Roy diuji secara ilmiah, bukan dijadikan dasar untuk menutup ruang kebebasan akademik.
Dr. Roy Suryo mungkin telah menjalani 9 bulan penjara. Namun sejarah mencatat, bahwa ketidakadilan terhadapnya adalah simbol kegagalan negara dalam menghormati intelektualitas, ilmu pengetahuan, dan suara kebenaran.
Dan karenanya, selaku bagian dari civitas akademika sejati, Roy layak dikenang bukan sebagai pesakitan, tapi sebagai representasi heroik dari nalar waras yang kini makin terasing di negeri ini.
***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur