Negara Gagal Menjawab: Di Mana Ijazah Jokowi? Sang Raja Dusta!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Tahun 2019, sebuah permohonan informasi publik diajukan ke Universitas Gadjah Mada oleh seseorang yang ingin tahu satu hal sederhana: Benarkah Joko Widodo pernah menjadi mahasiswa di kampus itu?
Permintaan itu ditujukan lewat saluran resmi Komisi Informasi Daerah, lalu disusul gugatan ke Komisi Informasi Pusat.
Tapi, seperti banyak kisah di negeri ini, transparansi malah dijawab dengan keheningan dan tembok birokrasi.
UGM menolak. Alasannya: privasi. Padahal, dalam Pasal 17 huruf a angka 3 UU KIP jelas disebut bahwa pengecualian informasi pribadi tidak berlaku jika menyangkut “jabatan publik dan/atau calon pejabat publik.”
Dengan kata lain, ijazah seorang presiden adalah dokumen publik.
“Ini bukan soal pribadi. Ini menyangkut kredibilitas pejabat negara yang dipilih oleh rakyat,” ujar Alvon Kurnia Palma, pengacara publik dari YLBHI, dalam sebuah diskusi hukum terbuka tahun lalu.
Gaya Tutup Pintu
KPU yang seharusnya memverifikasi ijazah calon presiden pun menyodorkan dokumen salinan, bukan dokumen asli.
Salinan itu diunggah ke situs KPU, namun ketika sejumlah ahli forensik mencoba menelaah, ditemukan kejanggalan pada tanda tangan, format, dan tinta cetaknya.
Salah satunya adalah Dr. Zakir Rasyidin, pakar hukum pidana dan forensik dokumen, yang mengatakan bahwa “Ijazah itu terlalu sempurna untuk ukuran tahun 1985.”
Ia merujuk pada jenis cetakan digital dan kualitas kertas yang belum lazim di era itu.
Ketika isu ini makin panas, Presiden Jokowi menjawab dengan santai. “Silakan dicek saja ke UGM,” katanya.
Tapi UGM sendiri—lembaga yang disebut-sebut sebagai sumber kebenaran itu—justru berlindung di balik dalih kerahasiaan dan menyerahkan sepenuhnya kepada negara.
Anehnya, saat ijazah Sandiaga Uno dipertanyakan, lembaga pendidikannya—George Washington University—segera mengonfirmasi status alumninya secara terbuka. Publik bisa mengakses informasi itu langsung dari situs kampus.
Bahkan ijazah palsu yang digunakan oleh beberapa kepala daerah lain seperti Bupati Sabu Raijua dan anggota DPR dari NTT dibongkar habis-habisan dan dijatuhi sanksi hukum.
Mengapa standar itu tidak berlaku untuk Presiden?
Celah Hukum atau Kejahatan Konstitusi?
Dalam salah satu putusan menarik tahun 2020, Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat menyatakan bahwa ijazah kepala daerah adalah “bagian dari dokumen publik dan tidak bisa dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan.” Putusan itu seharusnya bisa menjadi yurisprudensi, apalagi dalam kasus presiden.
Namun di Mahkamah Agung, gugatan-gugatan terkait ini kandas. Tak pernah sampai pada titik pemeriksaan isi.
Sebagian ditolak karena alasan formal, sebagian lain hanya disapu bersih dengan kalimat singkat: “tidak memenuhi syarat.”
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur