Koalisi Baru: Nasionalis, Islamis, dan Mereka yang Menunggu Momentum
Kemenangan politik selalu membawa euforia, tapi juga ujian. Di titik inilah Prabowo berdiri: antara semangat rekonsiliasi dan dorongan untuk menata ulang lanskap kekuasaan.
Koalisi yang tengah terbentuk bukan hanya soal elektabilitas, tapi tentang arah politik baru.
Kelompok Islamis yang dulu dibungkam, kini diberi tempat. Nasionalis garis keras yang sempat diremehkan, kini diajak bicara.
Para aktivis reformasi yang sempat tersisih, kini ditarik kembali. Namun tak semua bahagia.
Loyalis Jokowi yang masih bercokol di tubuh kabinet tentu mencium aroma ini sebagai ancaman. Maka resistensi pun muncul: dari dalam dan dari luar.
Mereka yang berada di tengah—teknokrat, birokrat senior, militer pensiunan—menunggu arah yang jelas.
Jika Prabowo mampu membuktikan bahwa gerakan ini bukan sekadar politik balas dendam, melainkan restorasi akal sehat, maka gelombang ini akan menjadi tsunami kekuasaan yang menghapus seluruh residu oligarki Jokowi.
Tapi waktu tidak lama. Jika terlalu banyak kompromi, koalisi ini bisa pecah dari dalam. Jika terlalu keras, akan muncul tuduhan: ini kudeta demokrasi.
Di titik ini, strategi Don Dasco diuji. Apakah ia mampu meramu kombinasi kompromi dan ketegasan dalam satu racikan kuasa yang tak meledak sebelum waktunya?
Jalan Sunyi Prabowo, Jejak Baru Kekuasaan
Tak ada kemenangan tanpa konsekuensi. Dan tak ada kekuasaan tanpa godaan untuk membalas.
Namun di titik inilah sejarah kerap menguji para pemimpin besar: apakah mereka akan menjadikan kekuasaan sebagai alat balas dendam, atau justru sebagai ruang untuk memulihkan luka-luka bangsa.
Prabowo Subianto, jika ia ingin dikenang sebagai negarawan, harus tahu kapan harus menyingkirkan dendam dan kapan harus menegakkan keadilan.
Ini jalan sunyi seorang pemimpin—terlebih jika ia lahir dari kontestasi yang penuh luka, manipulasi konstitusi, hingga cacian publik yang dijadikan hiasan demokrasi.
Strategi “pembersihan senyap” yang sedang dirancang oleh Dasco dan lingkar dalamnya, sejatinya adalah bagian dari arsitektur besar: bagaimana memulihkan nalar politik Indonesia dari kebekuan narasi tunggal.
Bukan sekadar mencopot menteri-menteri sisa Jokowi, tetapi lebih dalam: mendesain ulang siapa yang pantas mewakili rakyat, bukan hanya karena dekat dengan kekuasaan, tapi karena waras dan bernyali.
Toh, tak ada negara yang besar dengan birokrasi yang takut pada perubahan. Dan tak ada bangsa yang maju jika tetap memelihara para oportunis yang menjual idealisme hanya untuk memperpanjang masa tinggal di lingkar kekuasaan.
Kini, rakyat menanti:
Apakah Prabowo akan benar-benar memotong tali pusar dari era Jokowi, atau justru berkompromi demi stabilitas palsu?
Apakah Eggi Sudjana dan tokoh-tokoh yang dulu dibungkam akan menjadi bagian dari solusi, atau hanya dipakai sebagai alat legitimasi politik?
Sejarah memang tak pernah adil bagi mereka yang ragu.
Ia hanya memberi tempat bagi mereka yang berani memutuskan: untuk membersihkan, merawat, atau dikhianati oleh waktu.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur