Asas Hukum Pembuktian Afirmatif & Negatif: 'Polemik Ijazah Eks Presiden Joko Widodo'
Oleh: M. Yamin Nasution
Pemerhati Hukum
“Wie de leugen niet ziet, ziet de waarheid ook niet!”
“Dia yang tak melihat kebohongan, takkan mampu melihat kebenaran.”
Pendahuluan
Isu dugaan ijazah palsu milik Mantan Presiden Joko Widodo bukanlah hal baru.
Polemik ini pernah membawa Bambang Tri sebagai orang pertama yang mengungkapkan dugaan tersebut ke balik jeruji besi, disusul oleh Gus Nur.
Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dalam perkara Nomor 318/Pid.Sus/2022/PN.SKT dan 319/Pid.Sus/2022/PN.SKT, serta Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 4850/K/Pid.Sus/2023, menjadi bukti nyata betapa cacatnya proses pembuktian yang terjadi kala itu.
Ironisnya, dalam dokumen putusan, Jaksa Penuntut Umum tidak pernah menghadirkan ijazah asli, hanya salinan fotokopi yang dilegalisir.
Padahal, Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk memutus seseorang bersalah, minimal harus ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.
Tafsir terhadap Pasal 183 seharusnya bersifat implementatif dan tidak bisa ditawar.
Salinan ijazah yang dilegalisir tidak memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana.
Kini, polemik tersebut kembali mencuat. Bila sebelumnya yang dipersoalkan adalah ijazah tingkat SMP dan SMA, kini melalui pernyataan Rismon Sianipar—seorang saksi ahli IT forensik dalam berbagai perkara besar—dituduhkan bahwa ijazah strata satu (S1) Presiden Jokowi juga tidak valid.
Beberapa dasar yang dijadikan rujukan oleh Rismon antara lain:
- Jenis huruf: Skripsi yang diketik dengan font Times New Roman disebut mustahil dibuat pada tahun 1985 karena jenis huruf ini belum digunakan secara umum saat itu.
- Kronologi waktu: Ijazah diketahui lebih dahulu terbit dibandingkan skripsi yang menjadi syarat kelulusannya.
- Nama dosen pembimbing: Dalam rekaman video reuni, Jokowi menyebut pembimbing skripsinya bernama Kasmujo, padahal pada ijazah tercantum nama Prof. Dr. Achmad Sumitro.
- Kepemimpinan fakultas: Saat itu Prof. Sumitro menjabat sebagai Dekan Fakultas Kehutanan, namun dalam ijazah nama dekan tercantum orang lain.
Temuan-temuan tersebut (dan masih banyak lainnya) telah menimbulkan polemik besar. Masyarakat dan sebagian kalangan hukum terbelah pendapat.
Pihak pro mantan presiden menegaskan asas “siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan”. Namun, frasa tersebut seringkali disederhanakan secara keliru oleh publik.
Tulisan ini berupaya menjernihkan pemahaman mengenai asas-asas hukum pembuktian, khususnya dalam konteks pembuktian afirmatif dan negatif.
Uraian Materi
1. Penutur vs Penuduh: Sebuah Distingsi Penting
Indonesia mengenal tiga asas utama dalam hukum pembuktian:
Actore incumbit probatio
Actore incumbit onus probandi
Actore non probante reus absolvitur
Umumnya, Actore incumbit probatio digunakan dalam perkara perdata, sementara dua asas lainnya digunakan dalam perkara pidana.
a. Penutur (Pembuktian Afirmatif)
Secara prinsip, siapapun yang mengajukan dalil (penutur) memikul beban pembuktian atas dalil tersebut.
Inilah makna dari adagium “necessitas probandi incumbit ei qui agit”—kewajiban pembuktian berada di pihak yang bertindak atau menggugat.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur