Dalam konteks ini, penutur adalah individu yang merasa memiliki alasan dan dasar ilmiah atau faktual untuk menyatakan bahwa sebuah klaim (misalnya keaslian ijazah) tidak valid.
Maka, penutur tidak semestinya disamakan dengan “penuduh”, karena ia menyampaikan dugaan berdasarkan argumentasi, bukan asumsi kosong.
Sebaliknya, pemilik ijazah seharusnya secara natural memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuktikan validitas dokumennya, sebagaimana kaidah “in pari causa possessor potior haberi debet”—dalam situasi setara, pemilik sah lebih diunggulkan.
Frasa “probatio” dalam Actore incumbit probatio memiliki akar dari dua kata Latin: proba (bukti) dan probus (kejujuran).
Artinya, setiap bentuk pembuktian harus dilandasi oleh niat jujur dan integritas, baik dari pihak penggugat, tergugat, jaksa, maupun hakim. Hal ini ditekankan oleh L. Frederico Weis dalam adagium “Afirmanti incumbit probatio” (1674).
b. Tuduhan dan Penyimpangan Terminologi
“Tuduhan” dalam KBBI bermakna menyatakan kesalahan tanpa dasar yang sah. Dalam hukum pidana, tuduhan demikian dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah (smaad dan laster).
Penyelewengan istilah “penutur” menjadi “penuduh” telah menyebabkan kekeliruan fatal dalam berbagai kasus hukum, termasuk kasus Bambang Tri dan Gus Nur.
Padahal, kedua individu tersebut menyampaikan dalil berbasis analisis dan argumen, bukan semata-mata menyerang pribadi.
Namun sayangnya, jaksa dalam kasus tersebut hanya mampu menghadirkan fotokopi ijazah yang dilegalisir—bukan ijazah asli.
Ini tidak sejalan dengan prinsip audi et alteram partem dan jelas melanggar standar alat bukti autentik.
c. Pembuktian Negatif dan Asas Pembalikan Beban
Dalam praktik hukum di Indonesia, asas pembuktian negatif masih sangat minim pemahaman maupun penerapannya.
Namun secara logika, asas ini sangat penting untuk menjaga keadilan dan keseimbangan dalam peradilan pidana.
Asas “De actore non probante, in actore negatoria” menyatakan bahwa jika penggugat atau penuntut tidak mampu membuktikan dalilnya secara afirmatif, maka tergugat atau terdakwa memiliki hak dan bahkan kewajiban moral untuk membuktikan sebaliknya—yaitu bahwa dirinya tidak bersalah.
Meskipun Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak berkewajiban membuktikan dirinya tidak bersalah, secara psikologis dan praktis terdakwa tetap berada dalam posisi untuk membantah segala tuduhan dengan logika yang masuk akal.
Kegagalan jaksa dalam menghadirkan bukti autentik, serta tekanan terhadap terdakwa yang secara hukum mestinya bebas dari beban pembuktian, merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip dasar pembuktian negatif.
Sebagaimana dinyatakan dalam postulat Latin:
“Maxime in causis criminalibus, sciant cuncti accusatores, eam rem se deferre in publicam notionem debere, quae munita fit idoneis testibus, vel instructa apertissimis documentis vel indiciis ad probationem indubitatis & luce clarioribus expedita.”
(Terjemahan bebas: Dalam perkara pidana, setiap penuntut harus menyampaikan dakwaan secara terbuka kepada publik, disertai dengan bukti yang sah, dokumen yang terbuka, dan indikasi yang tidak menyisakan keraguan.)
Penutup
Polemik ijazah mantan Presiden Joko Widodo adalah ujian nyata terhadap integritas sistem hukum kita.
Pemahaman yang keliru terhadap asas pembuktian—baik afirmatif maupun negatif—telah menimbulkan ketidakadilan dan memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.
Kita harus membedakan secara tajam antara “penutur” dan “penuduh”.
Penutur menyampaikan dalil dengan dasar, sementara penuduh hanya menyerang tanpa bukti. Dan hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.
Sudah saatnya kita kembali kepada roh hukum: kejujuran, integritas, dan logika.
Sebab tanpa itu, pengadilan hanya akan menjadi panggung sandiwara, bukan tempat mencari keadilan.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur