Demokrasi bukan konsensus elite
Usulan mencopot Gibran melalui MPR mengandung bahaya laten: kembalinya politik konsensus elite menggantikan mandat rakyat.
Ini mengingatkan kita pada praktik sebelum Reformasi, ketika pemimpin negara dipilih dan dicopot oleh segelintir elite di MPR, tanpa keterlibatan publik.
Semangat Reformasi 1998 mengubah itu semua. Rakyat kini memegang kendali penuh atas siapa yang memimpin negara ini.
Menghidupkan kembali MPR sebagai penentu nasib jabatan eksekutif tanpa dasar hukum yang jelas adalah langkah mundur. Lebih dari itu, itu adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi langsung yang telah kita bangun dua dekade terakhir.
Forum Purnawirawan boleh saja kecewa dan marah. Namun, negara hukum tak bisa berdiri di atas kekecewaan. Negara hukum berdiri di atas prosedur, aturan main, dan penghormatan pada hasil demokrasi, seburuk apa pun hasil itu menurut sebagian pihak.
Kita tidak melarang kritik. Justru, kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Kita butuh para purnawirawan bicara. Kita butuh masyarakat sipil bersuara.
Namun, suara itu mesti disalurkan dalam koridor konstitusi. Bukan dengan mengusulkan pencopotan jabatan yang diperoleh lewat Pemilu, melainkan dengan memperbaiki sistem ke depan: memperkuat seleksi hakim MK, menegakkan kode etik, dan membatasi konflik kepentingan di lembaga-lembaga kunci negara.
Jika merasa proses politik salah arah, mari kita dorong reformasi kelembagaan. Kita perkuat pengawasan. Kita desak revisi UU Pemilu dan UU MK.
Mencopot seorang wakil presiden tanpa pelanggaran hukum berat hanya akan menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi.
Kita butuh etika, bukan kudeta
Masalah Gibran bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal etika politik. Banyak pihak menilai bahwa majunya Gibran sebagai cawapres di tengah konflik kepentingan keluarga adalah bentuk ketelanjangan etika kekuasaan.
Justru karena ini soal etika, penyelesaiannya harus tetap berada di jalur hukum, bukan dengan jalan pintas yang menyerupai kudeta konstitusional.
Indonesia telah membayar mahal untuk bisa sampai di titik demokrasi hari ini. Kita pernah punya pengalaman kelam tentang kekuasaan tanpa batas, tentang MPR yang terlalu kuat, dan tentang pemimpin yang dipilih bukan oleh rakyat. Jangan biarkan satu masalah etika menggiring kita kembali ke masa lalu.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum, kita tak boleh tergoda untuk menyelesaikan masalah politik dengan jalan inkonstitusional.
Kita harus menjadi warga negara yang berani marah, tapi juga berani sabar. Karena kekuasaan yang dibangun tanpa konstitusi hanya akan melahirkan ketidakstabilan.
Usulan pencopotan Gibran harus ditanggapi dengan kepala dingin. Presiden Prabowo mesti menunjukkan sikap kenegarawanan: menampung kritik, menjaga komunikasi, tetapi tetap berpijak pada hukum.
Masyarakat sipil harus tetap kritis, tetapi tidak tergoda oleh solusi yang mengabaikan prosedur demokratis.
Jika konstitusi bisa ditekuk karena tekanan politik, maka tak ada lagi kepastian hukum. Dan jika itu terjadi, kita semua yang akan menjadi korban: rakyat, demokrasi, dan masa depan bangsa. ***
Sumber: Kompas
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur