Gibran dan Desakan Pencopotan: 'Menimbang Aspek Legalitas, Politik, dan Perspektif Islam'
Gelombang desakan pencopotan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mencuat ke permukaan.
Desakan itu muncul dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Forum ini terdiri dari lebih dari 300 purnawirawan TNI lintas matra, termasuk tokoh-tokoh seperti mantan Wapres Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal (Purn) Hanafie Asnan.
Mereka mengajukan delapan poin tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto, salah satunya adalah permintaan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Gibran dari jabatan Wakil Presiden.
Alasan utama desakan ini adalah dugaan pelanggaran etik dan prosedural dalam proses pencalonan Gibran, khususnya terkait putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Presiden Prabowo Subianto, melalui Penasihat Khusus Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyatakan bahwa beliau menghargai aspirasi para purnawirawan namun menekankan pentingnya menjaga ketenangan publik dan tidak memperkeruh situasi politik.
Ketua MPR, Ahmad Muzani, menegaskan bahwa Gibran adalah Wakil Presiden yang sah hasil Pemilu 2024 dan bahwa desakan pencopotan tersebut tidak sesuai dengan konstitusi .
Pakar hukum tata negara, Aan Eko Widiarto dari Universitas Brawijaya, menyatakan bahwa usulan pemberhentian Wakil Presiden seharusnya diajukan oleh DPR terlebih dahulu sebelum diuji oleh Mahkamah Konstitusi, bukan diajukan langsung ke MPR.
Situasi ini mencerminkan dinamika politik pasca-Pilpres 2024 yang masih berlangsung. Meskipun desakan dari para purnawirawan TNI menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap proses politik, namun secara konstitusional, posisi Gibran sebagai Wakil Presiden tetap sah dan dilindungi oleh hukum yang berlaku.
1. Aspek Legalitas Pencalonan Gibran
Secara hukum, pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024 berlandaskan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi syarat usia calon presiden/wakil presiden bagi kepala daerah. Meskipun putusan MK saat itu menuai kontroversi, dalam praktik ketatanegaraan, keputusan MK bersifat final dan mengikat (Pasal 24C UUD 1945).
Sehingga, secara legal formal, pencalonan Gibran sah, dan kemenangannya bersama Prabowo Subianto dalam pilpres memiliki dasar legitimasi hukum yang kuat, diperkuat dengan pengesahan oleh KPU serta tidak dibatalkannya hasil pilpres oleh Mahkamah Konstitusi.
2. Aspek Sistem "Pasangan" dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Dalam sistem pemilihan Presiden di Indonesia, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket pasangan (Pasal 6A UUD 1945). Ini berarti rakyat tidak memilih Gibran secara terpisah, melainkan memilih "Prabowo-Gibran" sebagai satu kesatuan.
Mengusulkan pencopotan Gibran tanpa mempertimbangkan posisi presiden terpilih dapat menimbulkan anomali konstitusional. Karena, dalam konteks ini, kedudukan wakil presiden melekat pada mandat yang diperoleh bersama dalam satu paket elektoral.
3. Aspek Rakyat sebagai Pendukung Gibran
Gibran mendapat dukungan kuat dari kalangan yang identik dengan Projo (Pro Jokowi), basis loyalis Presiden Joko Widodo. Basis ini merupakan bagian dari kekuatan rakyat yang berkontribusi dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Mendesak pencopotan Gibran tanpa mempertimbangkan aspirasi mereka berpotensi menciptakan ketegangan horizontal di tingkat akar rumput, sebab mereka merasa pilihan politik mereka diabaikan dan dipreteli melalui mekanisme elitis.
4. Aspek Koalisi Pendukung Pemerintah
Koalisi Indonesia Maju (KIM), sebagai koalisi besar yang mengusung Prabowo-Gibran, sejauh ini menunjukkan soliditas. Mayoritas partai politik pendukung tetap mengakui keabsahan pasangan ini.
Dukungan koalisi sangat krusial, karena dalam sistem presidensial Indonesia, kekuatan di parlemen menentukan kelancaran jalannya pemerintahan. Upaya menggoyang posisi Gibran berarti secara langsung mengusik kesatuan pemerintahan Prabowo-Gibran, berpotensi melemahkan pemerintahan yang baru terbentuk.
5. Aspek Kontra Pemerintah (bukan Oposisi)
Dalam sistem politik Indonesia, tidak dikenal istilah oposisi formal sebagaimana dalam sistem parlementer. Yang ada adalah pihak-pihak yang kontra terhadap kebijakan pemerintah, baik melalui jalur politik, hukum, maupun sosial.
Kelompok kontra pemerintah ini berperan dalam demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang (checks and balances), meskipun mereka tidak secara struktural disebut sebagai "oposisi".
Catatan Kritis
Namun, perlu diingat, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemakzulan tidak bisa dilakukan semata-mata atas dasar ketidakpuasan politik atau dugaan pelanggaran etik, melainkan harus berdasarkan bukti hukum yang kuat dan melalui prosedur resmi: dimulai dari DPR, disidangkan di Mahkamah Konstitusi, lalu kembali ke sidang paripurna DPR untuk keputusan akhir.
Dengan demikian, meskipun aspirasi kelompok kontra pemerintah menjadi bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, realisasi tuntutan tersebut memerlukan proses yang panjang, objektif, serta memenuhi prinsip due process of law.
6. Aspek Stabilitas Politik, Ekonomi, dan Keamanan Negara
Stabilitas politik sangat sensitif terhadap gejolak di pucuk pemerintahan. Desakan untuk mengganti Wakil Presiden di tengah masa transisi pemerintahan baru berpotensi:
- Menggoyang kepercayaan pasar terhadap konsistensi arah kebijakan ekonomi nasional.
- Melemahkan pertahanan politik nasional.
- Menyulut ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas yang mendukung hasil Pilpres 2024.
Keamanan dalam negeri pun rentan terganggu, sebab perpecahan elite politik seringkali berimbas pada polarisasi sosial.
Artikel Terkait
Jakarta Lumpuh! Ribuan Buruh dan Guru Madrasah Swasta Serbu Istana & DPR, Ini 5 Tuntutan yang Bikin Pemerintah Kelabakan
Viral! Oknum Brimob Catcalling di Trotoar, Langsung Dihajar Propam
Viral Gaya Hidup Mahasiswi UNS Penerima KIP: Ditemukan Dugem, Circle Hedon, tapi ke Kampus Jalan Kaki, Ini Fakta di Baliknya!
Deddy Corbuzier Resmi Diceraikan Sabrina: Terkadang Cinta Tak Cukup