Gibran dan Desakan Pencopotan: Menimbang Aspek Legalitas, Politik, dan Perspektif Islam

- Selasa, 29 April 2025 | 13:35 WIB
Gibran dan Desakan Pencopotan: Menimbang Aspek Legalitas, Politik, dan Perspektif Islam

Indonesia saat ini menjadi salah satu pemain regional yang penting di ASEAN dan dunia Islam.


Kisruh politik domestik, apalagi di level presiden-wakil presiden, dapat memperlemah posisi diplomasi Indonesia di mata negara lain. Stabilitas politik menjadi salah satu indikator utama dalam indeks daya saing global, kemudahan investasi, dan hubungan luar negeri.


Apabila isu ini tidak ditangani bijak, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia bisa menurun.


8. Pandangan Islam terhadap Pemakzulan Pemerintah


Dalam tradisi siyasah Islamiyah (politik Islam), persoalan kepemimpinan, ketaatan kepada pemimpin, dan mekanisme pemakzulan (isolasi atau pencopotan) telah dibahas secara mendalam.


Islam memberikan prinsip-prinsip yang mendasar dalam hubungan antara rakyat dan penguasa, dengan tetap menempatkan keadilan, amanah, dan maslahat umum sebagai landasan utama keberlangsungan pemerintahan.


A. Prinsip Dasar Kepemimpinan dalam Islam


Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan (imamah/khalifah) adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan keadilan, kejujuran, dan menjaga kemaslahatan umat.


Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS. An-Nisa: 58)


Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya ketaatan kepada pemimpin selama tidak memerintahkan kemaksiatan:


"Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat dalam hal yang disukai maupun tidak disukai, kecuali jika diperintahkan untuk bermaksiat. Jika diperintahkan bermaksiat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat." (HR. Bukhari dan Muslim)


B. Kapan Pemerintah Boleh Dimakzulkan dalam Islam


Para ulama membahas bahwa dalam siyasah Islamiyah, seorang pemimpin (imam atau khalifah) dapat dicopot dari jabatannya jika memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya:


  • Terbukti melakukan kezaliman besar atau pengkhianatan terhadap rakyat.
  • Melakukan kekufuran yang nyata (kufr bawwah) yang bisa dibuktikan secara syar'i.
  • Tidak lagi mampu menjalankan amanah kepemimpinan, baik karena cacat moral, cacat akal, atau cacat fisik berat.
  • Mengabaikan tujuan syariah (maqashid al-syari'ah) seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta rakyat.


Dalil yang sering dijadikan landasan untuk pemakzulan adalah hadits Nabi SAW:


"Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata (kufran bawwahan) yang ada padanya bukti dari Allah, maka tidak boleh taat." (HR. Bukhari dan Muslim)


C. Kasus Pemakzulan dalam Sejarah Islam


Beberapa peristiwa dalam sejarah Islam memperlihatkan adanya proses pemakzulan atau perlawanan terhadap pemerintah:


Khalifah Utsman bin Affan (r.a.) menghadapi desakan keras dari sebagian umat akibat tuduhan nepotisme dan ketidakadilan administratif, yang pada akhirnya berujung pada pemberontakan dan pembunuhan beliau. Namun, para sahabat senior tidak pernah secara sah memakzulkan Utsman, melainkan lebih mendorong perbaikan internal.


Khalifah Al-Mu'tamid di Abbasiyah pernah diisolasi dari kekuasaan karena ketidakmampuan memimpin akibat dominasi militer dan kekacauan politik, meskipun kasus ini lebih didominasi faktor kekuasaan militer daripada prosedur syar'i.


Dalam era khilafah Umayyah dan Abbasiyah, ada beberapa kali terjadi kudeta dan pemberontakan, namun jarang dilakukan berdasarkan prosedur sahih syariat, lebih banyak dipengaruhi konflik kekuasaan.


D. Relevansi terhadap Kasus Gibran Rakabuming Raka


Dalam konteks Gibran Rakabuming Raka, meninjau dari siyasah Islamiyah:


Gibran bukan pemimpin tunggal negara (hanya sebagai Wakil Presiden, dalam sistem pasangan dengan Presiden).


Tidak ada indikasi kekufuran nyata atau pelanggaran besar terhadap maqashid syariah (seperti korupsi besar-besaran yang terbukti, kezaliman berat terhadap rakyat, atau tindakan penghianatan terhadap negara).


Isu yang berkembang lebih kepada dugaan pelanggaran etika dan moralitas politik, bukan pada aspek kekufuran atau kezaliman besar secara syar'i.


Maka, dalam perspektif siyasah Islamiyah yang murni, tidak cukup alasan syar'i untuk memakzulkan Gibran, kecuali bila di kemudian hari muncul bukti-bukti sahih yang menunjukkan bahwa ia melakukan tindakan kufur bawwah atau kezaliman besar.


Pandangan Islam menempatkan stabilitas, keadilan, dan maslahat umat sebagai prioritas. Kritik dan koreksi terhadap penguasa adalah kewajiban, namun proses pencopotan hanya dibenarkan bila ada pelanggaran nyata yang berat menurut hukum syariah.


Dalam kasus Gibran, langkah yang lebih sesuai dengan prinsip Islam adalah mengedepankan nasihat (nashihah), koreksi hukum yang adil, dan menunggu proses politik dan hukum formal berjalan sesuai aturan.


Penutup: Bijak Menjaga Demokrasi dan Persatuan


Desakan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka hendaknya melihat kembali secara hukum dan konstitusi, bukan hanya berdasarkan ketidakpuasan politis. 


Karena kebesaran suatu bangsa tidak diukur dari seberapa cepat ia merobohkan tatanannya, melainkan dari kematangannya dalam menyelesaikan perbedaan dengan cara yang sah, beradab, dan menjunjung keutuhan nasional. Indonesia membutuhkan energi positif untuk membangun, bukan untuk berpecah. ***


Sumber: Kompasiana

Halaman:

Komentar

Terpopuler