Deklarasi Dukun Politik: 'Ketika Parpol Gagal Bekerja, Tapi Rajin Menebak Nasib Prabowo 2029'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Belum genap setengah tahun Presiden Prabowo Subianto menjabat, sejumlah partai politik justru sudah ramai-ramai menggelar tahlilan politik untuk demokrasi lima tahun mendatang.
Dengan wajah sumringah dan pidato berapi-api, para ketua umum partai mendeklarasikan dukungan agar Prabowo kembali maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2029.
Dari Gerindra, PAN, hingga Golkar—semuanya seolah sedang bersaing bukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa, melainkan untuk menjadi dukun paling awal yang menebak “masa depan politik” sang petahana.
Ironis. Sementara rakyat menghadapi berbagai kegentingan—dari harga pangan yang melonjak, ketidakpastian lapangan kerja, hingga konflik agraria dan degradasi lingkungan—partai-partai justru sibuk mengatur posisi dalam kontestasi yang masih lima tahun lagi.
Mereka melompat jauh ke depan, meninggalkan tanggung jawab yang justru kini paling mendesak: mengawal dan mengkritisi jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran.
Apa yang lebih memalukan dari sebuah partai politik yang bahkan tidak yakin pada visi, kader, atau masa depannya sendiri?
Partai yang lebih memilih mengusung tokoh eksternal, bahkan petahana dari partai lain, sesungguhnya sedang mengakui kegagalannya sendiri.
Mereka tak memiliki tokoh yang layak jual, tak punya narasi yang kuat, dan barangkali juga tak percaya pada relevansi ideologi partai yang mereka usung di atas kertas.
Maka tidak heran jika mereka berlindung di balik popularitas Prabowo demi mendapatkan “efek ekor jas”—sebuah istilah yang terdengar keren, namun pada dasarnya adalah bentuk oportunisme politik paling telanjang.
Seperti yang disampaikan oleh peneliti senior BRIN, Lili Romli, dukungan dini terhadap Prabowo ini lebih karena kekosongan kader dan kalkulasi untung-rugi elektoral belaka.
Alih-alih membangun ekosistem politik yang sehat dan kompetitif, parpol malah mengamini politik satu wajah: semua untuk Prabowo. Padahal tugas mereka bukan meramal, tapi bekerja.
Jika semua hanya ingin ikut arus, lalu siapa yang akan mengoreksi bila arah kapal bangsa ini mulai oleng?
Lebih jauh, tindakan ini menyiratkan adanya kekhawatiran lain: bahwa di balik sorotan kamera dan narasi loyalitas, mungkin saja para ketua umum partai sudah mencium aroma ambisi baru dari Istana. Gibran Rakabuming Raka, sang wakil presiden, bukan sosok pasif.
Terlalu banyak manuver dan isyarat politik yang mengindikasikan bahwa ia juga tengah mempersiapkan panggungnya sendiri.
Dalam skenario ini, dukungan terhadap Prabowo justru bisa dimaknai sebagai strategi menunda benturan—membeli waktu sambil memantau kekuatan politik yang tumbuh di dalam rumah sendiri.
Tak hanya itu, deklarasi dini ini menunjukkan bahwa koalisi partai penguasa lebih sibuk mengatur masa depan kekuasaan ketimbang menyusun peta jalan pemulihan nasional.
Mereka lebih tertarik menciptakan rasa aman untuk kursi kekuasaan, ketimbang mengurai benang kusut tata kelola pemerintahan yang hingga kini masih belum terlihat taringnya.
Apa artinya loyalitas jika yang dikorbankan adalah rakyat?
PAN, lewat Zulkifli Hasan, bahkan tak malu-malu menyebut bahwa dukungan kepada Prabowo disertai syarat: ikut menentukan cawapres.
Artinya, ini bukan soal ide, bukan soal arah bangsa, tetapi semata-mata transaksi politik untuk memastikan bagian dalam kekuasaan tetap aman.
Demikian pula Golkar di bawah Bahlil Lahadalia—menyebut siap dua periode tanpa sedikit pun menyentuh kebutuhan rakyat yang harus diselesaikan hari ini.
Sementara PKB, meski belum ikut dalam rombongan deklarasi, tetap saja tidak menunjukkan sikap oposisi konstruktif.
Cak Imin lebih memilih nada bercanda ketimbang memberikan pernyataan politik yang substantif.
Kini muncul pertanyaan krusial: apakah para ketua umum partai ini sedang memainkan strategi untuk mengamankan posisi kader-kader mereka di kabinet? Bisa jadi, dukungan dini kepada Prabowo adalah cara halus untuk menghindari reshuffle.
Presiden Prabowo, yang dikenal punya gaya militeristik dalam mengambil keputusan, tentu bisa sewaktu-waktu mengganti menteri yang tidak sinkron atau dinilai membebani. Maka, loyalitas dini bukan semata bentuk dukungan, tapi bisa jadi siasat bertahan.
Seperti politikus yang merunduk sebelum badai reshuffle datang, para ketum partai itu memilih jalan aman: memeluk erat sang presiden. Mungkin bukan karena cinta, tapi karena takut kehilangan kursi.
Inilah wajah politik Indonesia hari ini.
Di saat demokrasi seharusnya menjadi arena kompetisi ide dan gagasan, yang terjadi justru parade oportunisme tanpa malu.
Parpol-parpol telah berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan sebagai alat kontrol, bukan pula sebagai rumah pendidikan politik rakyat.
Mereka menjadi penumpang yang berebut kursi di kapal besar bernama “petahana,” meski arah kapal belum jelas, bahkan kompasnya pun belum ditemukan.
Jika seperti ini terus, maka bukan mustahil pada 2034 nanti, saat presiden belum dilantik, parpol sudah sibuk mendeklarasikan capres 2044.
Kita mungkin memang hidup di negara demokrasi. Tapi dalam demokrasi yang sehat, masa depan tidak ditentukan oleh dukun politik, melainkan oleh kerja keras hari ini.
Dan untuk itu, kita harus mulai bertanya: siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan siapa yang hanya sibuk meramal kekuasaan? ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Transparansi Informasi Publik: Peran Strategis PPID Sekretariat DPRD Provinsi Sumsel
VIRAL Video Lawas Hercules Saat Debat Dengan Polisi: Saya Tak Takut Hadapi Jokowi!
Viral Video Detik-detik Pedagang Pempek Duel dengan 2 Preman Pasar, Satu Tewas!
Jonathan Frizzy Ditangkap Polisi Pasca Ditetapkan Tersangka Kasus Vape Obat Keras