Prabowo sedang mengirim pesan: “Aku Presiden, dan ini pemerintahanku.”
Kekuatan Kertanegara kini mulai menguat melalui loyalis lama Prabowo dari kalangan militer seperti Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, eks Danjen Kopassus, hingga para purnawirawan yang dulu berada di lingkaran Gerindra.
Prabowo juga mulai mengisi pos-pos penting di kementerian dengan orang-orang yang pernah bersamanya sejak awal perjuangan partai.
Letjen Kunto bukan hanya perwira tinggi biasa. Ia adalah putra dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wapres dan tokoh militer berpengaruh.
Try dikenal keras terhadap Jokowi dan pernah secara terbuka mendukung Forum Prajurit Purnawirawan TNI yang menolak Gibran sebagai cawapres.
Mutasi Letjen Kunto ke staf khusus KSAD dinilai banyak pihak sebagai “hukuman politik” karena latar belakang keluarganya.
Namun Prabowo membatalkan mutasi itu. Ini bukan hanya soal posisi, melainkan simbol perebutan pengaruh di tubuh TNI.
Dalam struktur TNI, jabatan Pangkogabwilhan I sangat strategis karena mengawasi wilayah barat Indonesia yang mencakup Sumatera dan Natuna—daerah penting secara geopolitik.
Dalam kacamata analisis, pembatalan mutasi ini adalah langkah pembebasan. Prabowo menunjukkan bahwa ia tak tunduk pada tekanan Geng Solo, dan mulai menciptakan narasi politiknya sendiri.
Fenomena “dua matahari” dalam kekuasaan bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Di masa Orde Baru, kita pernah melihat dualisme kekuasaan antara Soeharto dan teknokrat/BJ Habibie.
Di era Jokowi sendiri, ada dinamika antara kelompok PDIP dan barisan relawan. Namun kini, konstelasi itu lebih tajam karena melibatkan struktur militer aktif.
Kehadiran Gibran sebagai Wakil Presiden memperumit dinamika ini. Di satu sisi, Gibran adalah putra mahkota dari Geng Solo, tapi di sisi lain, ia kini adalah orang nomor dua di pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh berbeda—Prabowo.
Ini bisa menimbulkan ketegangan internal, terutama jika Gibran mulai mengambil langkah politik sendiri.
Prabowo berada dalam posisi sulit. Jika terlalu dekat dengan Geng Solo, ia kehilangan otoritas.
Jika terlalu frontal, bisa menciptakan instabilitas di awal pemerintahan. Namun kasus Kunto menunjukkan bahwa Prabowo mulai berani menegaskan garis politiknya sendiri.
Pertanyaannya kini: akankah Prabowo berhasil mengonsolidasikan pemerintahannya menjadi satu garis komando di bawah Kertanegara? Atau justru akan terjadi “perang dingin” berkepanjangan antara dua kutub kekuasaan?
Jika Prabowo terus memainkan kartu strategis seperti dalam kasus Letjen Kunto, maka kita akan melihat transformasi pemerintahan ke arah yang lebih tersentral.
Namun bila Geng Solo terus mengintervensi, pemerintahan ini bisa berubah menjadi panggung tarik ulur kekuasaan yang melelahkan.
Yang jelas, satu hal pasti: pemerintahan Prabowo tidak akan berjalan tenang dalam bayang-bayang Jokowi. ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur